Di era serba digital, banyak orang tua khawatir anak-anak terlalu larut dalam dunia layar. Karenanya, menurut Psikolog Anak, Saskhya Aulia Prima, M.Psi., pengalaman sederhana seperti berbelanja atau bermain di playground justru bisa menjadi sarana penting untuk mendukung perkembangan anak, baik secara kognitif, sosial, maupun emosional.
Perempuan yang akrab disapa Saskhya ini menekankan bahwa kegiatan sehari-hari seperti berbelanja dapat dijadikan media pembelajaran. Anak bisa dilatih untuk membuat perencanaan, mengatur prioritas, hingga belajar kontrol diri.
“Kalau dari kecil anak dibiasakan ikut belanja, kita bisa melatih mereka untuk membuat goal, planning, decision making, sampai self-control. Misalnya diberi budget terbatas, anak belajar memilih mana yang benar-benar dibutuhkan. Itu pengalaman yang bermakna sekaligus jadi momen bonding bersama orang tua,” terang Saskhya, saat sesi media gathering di FuniFun! Cafe, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/8/2025).
Saskhya pun lantas mencontohkan bagaimana anaknya dulu mengalami kesulitan saat harus memilih barang dengan uang Rp50.000, namun dari situlah anak belajar nilai, fungsi barang, dan keterampilan mengambil keputusan.
Lebih jauh, Saskhya menilai ruang ritel kreatif seperti OH!SOME dapat merangsang rasa ingin tahu dan kreativitas anak. Dari pencahayaan, tata letak, hingga variasi produk yang ditawarkan, semuanya berfungsi sebagai pemantik ide.
“Ada konsep yang disebut ‘invitation to play’ atau ‘invitation to learn’. Setting, layout, warna, dan visual di tempat seperti OH!SOME membuat anak langsung terpikir mau melakukan apa. Anak-anak Gen Alpha dan Gen Z itu butuh sesuatu yang estetik, yang memicu rasa penasaran mereka, dan di sinilah ruang-ruang kreatif berperan,” jelasnya.
Tidak hanya pusat perbelanjaan, Saskhya juga menyoroti peran playground seperti FuniFun! yang mampu mendukung perkembangan motorik sekaligus melatih resiliensi anak.
“Kalau di playground, anak bukan cuma bergerak secara fisik, tapi juga belajar resiliensi. Mereka bisa ketemu teman baru, berkonflik kecil, lalu belajar menyelesaikannya. Ini yang bikin kemampuan sosial-emosi mereka berkembang,” kata Saskhya.
Menurutnya, anak-anak masa kini cenderung kurang interaksi sosial sehingga ekspresi emosi mereka pun sering tumpul. Dengan bermain langsung bersama teman sebaya, anak dapat belajar bernegosiasi, mengelola emosi, hingga berani menghadapi tantangan.
Baca Juga: OH!SOME Hadirkan Retail Experience yang Menghibur, Inklusif, dan Bermakna
Seimbangkan Screen Time dengan Pengalaman Nyata
Salah satu isu yang paling banyak diperhatikan Saskhya adalah screen time. Berdasarkan data 2023, anak-anak Indonesia rata-rata menghabiskan 5–6 jam per hari dengan gawai, padahal WHO hanya merekomendasikan minimal 3 jam aktivitas fisik setiap hari.
“Bukan berarti screen time itu buruk, tapi harus diimbangi. Kalau semua waktu habis untuk layar, anak akan kehilangan kesempatan mengasah kemampuan fisik, sosial, dan emosionalnya. Apalagi sekarang ada fenomena global emotional recession, di mana kecerdasan emosi anak-anak cenderung menurun. Jadi penting banget bagi orang tua untuk memberikan ruang main nyata, setiap hari,” tegas Saskhya.
Bagi Saskhya, playground bisa diibaratkan sebagai ‘emotional gym’. Menurutnya, anak tidak hanya berolahraga fisik, tapi juga berlatih mengelola emosi dan interaksi sosial.
“Di playground, anak bisa berkonflik, berdamai, atau menemukan teman baru. Itu bagian dari proses belajar sosial. Orang tua jangan buru-buru menolong, biarkan anak berusaha dulu. Dari situ mereka belajar resiliensi dan negosiasi. Kalau ada situasi yang benar-benar berbahaya, barulah orang tua turun tangan,” paparnya.
Ia juga menekankan bahwa orang tua perlu menghindari sikap overprotective saat bermain. Pasalnya, terlalu cepat menyelesaikan masalah anak justru menghambat keterampilan sosial mereka.
Lebih lanjut, Saskhya pun menekankan pentingnya penyesuaian dan pendampingan sesuai kondisi masing-masing anak, tak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus.
“Menurut saya, semuanya kembali pada jenis kebutuhan masing-masing anak. Bahkan tanpa label ‘special needs’, setiap anak punya tantangan sendiri, baik emosional, sosial, maupun fisik. Jadi orang tua perlu mempertimbangkan tingkat pendampingan sebelum membawa anak ke playground,” ungkap Saskhya.
Saskhya pun menambahkan bahwa area seperti kolam bola, area pasir, atau permainan sederhana bisa lebih ramah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sementara, wahana kompleks perlu disesuaikan lagi.
“Kalau soal pendampingan emosional, tidak semua anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan kognitif. Kalau mereka bisa diajak diskusi, libatkan mereka untuk memilih permainan agar lebih nyaman. Yang penting, orang tua mempersiapkan kondisi anak sebelumnya, pastikan cukup makan dan cukup tidur agar tidak rewel saat bermain,” pungkas Saskhya.
Baca Juga: Blue Origin Group Hadirkan OH!SOME & FuniFun!, Ciptakan Pengalaman Belanja dan Bermain yang Bermakna