Siapa yang tak mengenal Leila S. Chudori, penulis yang melalui novel, cerpen, dan karya jurnalistiknya konsisten mengajak pembaca menengok kembali sejarah serta realitas pahit politik Indonesia?

Tulisan-tulisannya tidak sekadar bercerita, melainkan membuka ruang refleksi atas peristiwa-peristiwa yang kerap luput dari buku pelajaran, sekaligus menghidupkan ingatan kolektif melalui narasi yang jujur dan menyentuh.

Salah satu karya Leila yang paling dikenal luas adalah Laut Bercerita, novel yang tidak hanya membuka wawasan pembaca tentang sejarah Indonesia, tetapi juga menegaskan sastra sebagai ruang kesaksian, empati, dan kemanusiaan.

Dikutip dari Tatler Asia, tak banyak penulis Indonesia yang mampu menuturkan trauma politik dan relasi keluarga dengan kedalaman emosional serta kejernihan naratif seperti Leila S. Chudori.

Dari ruang redaksi Tempo hingga panggung sastra dunia, Leila dikenal konsisten menelusuri sejarah dan kemanusiaan dengan empati dan ketelitian. Keberanian inilah yang menjadikannya inspirasi bagi banyak penulis muda, bukan hanya karena mutu karyanya, tetapi juga karena integritas dan komitmennya dalam menjaga kebebasan berekspresi.

Lantas, seperti apa sosok Leila S. Chudori sebenarnya? Dikutip dari berbagai sumber, Sabtu (15/12/2025), berikut ulasan Olenka tentang perjalanan hidup dan kiprah Leila S. Chudori.

Latar Belakang Keluarga

Leila Salikha Chudori lahir pada 12 Desember 1962. Ia merupakan putri dari Mohammad Chudori, seorang wartawan yang bekerja di Kantor Berita Antara dan The Jakarta Post.

Lingkungan keluarga menjadi fondasi penting dalam membentuk kepekaan intelektual dan kecintaannya pada Tanah Air. Sejak kecil, Leila terbiasa membaca koran dan mendiskusikan peristiwa dunia bersama ayahnya.

Dikutip dari Indonesiakaya.com, membaca bukan sekadar hobi di keluarga Chudori, melainkan kebutuhan rohani.

“Selain pangan, sandang dan papan, membaca itu kebutuhan rohani keluarga saya dari dulu. Membaca jadi bagian hidup kita,” tutur Leila mengenang masa kecilnya.

Tak hanya buku, Leila juga dikenalkan pada seni tari, teater, dan cerita dongeng. Sejak Sekolah Dasar, ia sudah diajak memahami isu-isu politik. Sang ayah bahkan akan kecewa jika Leila dan kakaknya tidak mengikuti perkembangan isu yang sedang hangat saat itu.

Pendidikan

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Leila melanjutkan studi ke Kanada. Ia menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College, lalu meraih gelar di Trent University dengan jurusan Political Science dan Comparative Development Studies.

Dikutip dari Tatler Asia, pilihan pada bidang humaniora ini menjadi modal penting bagi Leila untuk memahami relasi kuasa, sejarah, dan kemanusiaan, bekal yang kelak sangat memengaruhi karya jurnalistik dan sastranya.

Bakat yang Tumbuh Sejak Kanak-Kanak

Bakat menulis Leila muncul sangat dini. Dikutip dari Gramedia.com, ia mulai menulis sejak usia 11 tahun. Cerpen pertamanya Pesan Sebatang Pohon Pisang dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung pada 1973, saat usianya baru 12 tahun.

Setelah itu, Leila produktif menulis cerpen di majalah remaja seperti Kawanku, Hai, dan Gadis. Namanya pun akrab di kalangan pembaca muda.

Semasa remaja, ia telah menerbitkan kumpulan cerpen seperti Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra, sebuah pencapaian langka bagi penulis seusianya.

Perjalanan Menjadi Jurnalis

Sekembalinya menimba ilmu di luar negeri, Leila pun Kembali ke Indonesia. Leila pun bergabung dengan majalah Tempo pada 1989. Dikutip dari Bukunesia.com, ia berkarya sebagai wartawan selama hampir tiga dekade hingga 2017. Di Tempo, Leila dikenal lewat liputan mendalam dan tulisan feature yang kaya narasi.

Kemudian, dikutip dari Beautynesia, pengalaman jurnalistiknya membuka kesempatan mewawancarai tokoh-tokoh dunia, mulai dari H.B. Jassin, Yasser Arafat, Cory Aquino, Robert Mugabe, hingga Nelson Mandela.

Ia bahkan menjadi salah satu dari sebelas perempuan Indonesia yang pernah makan siang bersama Lady Diana.

Pengalaman liputan di era Orde Baru, termasuk saat Tempo dibredel, menjadi bagian penting dalam pembentukan sikap kritis dan keberanian Leila sebagai penulis.

Perjalanan Menjadi Penulis Sastra

Nama Leila S. Chudori semakin dikenal luas lewat kumpulan cerpen Malam Terakhir (1989). Cerpen-cerpen di dalamnya menyoroti kebebasan berekspresi, integritas, dan keberanian moral.

Puncak pengakuan datang lewat novel Pulang (2012), yang mengangkat kisah eksil politik pasca-1965. Dikutip dari Tatler Asia, novel ini menunjukkan kekuatan Leila dalam menggabungkan riset sejarah yang ketat dengan sensitivitas kemanusiaan.

Kesuksesan itu berlanjut melalui Laut Bercerita (2017), novel yang mengisahkan tragedi 1998 dari sudut pandang korban. Novel ini menjelma menjadi karya ikonik lintas generasi.

Baca Juga: Mengenang Nh. Dini, Sastrawan Perempuan Berpengaruh sekaligus Pelopor Sastra Feminis Indonesia

Antara Jurnalisme dan Sastra

Dikutip dari Indonesiakaya.com, Leila mengakui bahwa pengalaman pahit sebagai jurnalis justru menguatkan keyakinannya untuk terus menulis. Dorongan terbesar datang dari anaknya, yang percaya bahwa sang ibu adalah penulis terbaik.

“Saya menulis karena ada cerita, bukan untuk membangun revolusi,” tutur Leila.

Baginya, isu hak asasi manusia dan politik akan hadir secara inheren jika cerita dituturkan dengan jujur. Sensitivitas itu tampak jelas dalam karya-karyanya yang kerap mengangkat nasib eksil politik, korban sejarah, dan pergulatan batin manusia.

Karya-Karya Leila S. Chudori

Karya-karya Leila S. Chudori menunjukkan perjalanan estetik dan intelektual yang panjang, dari eksplorasi tema personal hingga penggalian sejarah dan kemanusiaan yang mendalam.

Novel Kelopak-kelopak yang Berguguran (1984) menandai fase awal kepenulisannya, disusul kumpulan cerpen Malam Terakhir (1989; cetak ulang 2009) yang mengukuhkan namanya sebagai cerpenis dengan sensitivitas sosial yang kuat.

Melalui 9 dari Nadira (2009), Leila menghadirkan potret kompleks perempuan modern, sementara Pulang (2012) memperlihatkan kematangannya dalam meramu fiksi dan sejarah lewat kisah eksil politik Indonesia.

Puncak pengaruhnya tampak pada Laut Bercerita (2017), novel yang menggugah kesadaran kolektif tentang tragedi 1998 dan menjadikannya salah satu penulis paling berpengaruh di Indonesia. Cerita tersebut kemudian dilanjutkan melalui Namaku Alam (2023), sementara Mang Eak (2024) memperlihatkan keberaniannya bereksperimen dengan bentuk dan pendekatan baru.

Daya jangkau karya-karya Leila pun melampaui batas nasional, dengan Laut Bercerita diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Sea Speaks His Name dan Malam Terakhir terbit dalam bahasa Jerman dengan judul Die Letzte Nacht. Hal ini menegaskan penerimaan pembaca internasional terhadap kekuatan narasinya.

Dikutip dari laman Kemendikdasmen, selain di majalah dan surat kabar, tulisan Leila juga dimuat di jurnal sastra, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti dalam jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).

Cerpen Leila juga dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig ‘Leila S, Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing’ dalam jurnal sastra Tenggara.

Namanya juga tercantum dalam kamus sastra Dictionnaire des Créatrices yang diterbitkan oleh Editions des Femmes, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus itu berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dalam dunia seni.

Kiprah di Ranah Film

Selain dikenal lewat cerpen dan novel, Leila S. Chudori juga menorehkan jejak kuat di dunia penulisan skenario. Ia menulis skenario drama televisi Dunia Tanpa Koma (2006), film pendek musikal Drupadi (2008), serta film Kata Maaf Terakhir (2009).

Dunia Tanpa Koma sendiri tayang selama 14 episode dan dibintangi Dian Sastrowardoyo serta Tora Sudiro, dan mengantarkannya meraih penghargaan Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada Festival Film Bandung 2007.

Sementara itu, Drupadi, yang diproduseri Mira Lesmana dan disutradarai Riri Riza, menghadirkan tafsir modern atas epos Mahabharata dengan simbol kuat tentang perjuangan perempuan, keadilan, dan kesetaraan. Adapun, Kata Maaf Terakhir mengangkat drama kemanusiaan tentang penyesalan dan rekonsiliasi dalam batas waktu kehidupan.

Dikutip dari laman Kemendikdasmen, kiprah Leila di ranah film juga ditandai dengan perannya sebagai juri di berbagai festival bergengsi serta keterlibatannya sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta, menegaskan posisinya sebagai figur penting yang berpengaruh di persimpangan sastra, film, dan kebudayaan Indonesia.

Baca Juga: Mengenang Marga T, Ikon Sastra Populer Indonesia yang Abadi Lewat Karmila dan Badai Pasti Berlalu

Buku yang Mempengaruhi Hidup Leila

Dikutip dari eksperionline.com, buku-buku memiliki peran sentral dalam membentuk cara berpikir Leila. Ia sendiri mengaku dipengaruhi karya akademik seperti Women and State Socialism Alena Heitlinger, pemikiran kritis Naomi Klein, serta fiksi dari Virginia Woolf, Gabriel García Márquez, Orhan Pamuk, Anne Sexton, Simone de Beauvoir, hingga Alice Munro.

Pengalaman paling mengguncang terjadi saat ia mengakses buku-buku yang dilarang di Indonesia, termasuk kajian Benedict Anderson tentang tragedi 1965. Bacaan-bacaan inilah yang menjadi fondasi emosional dan intelektual cerpen-cerpen Malam Terakhir.

Dikutip dari laman kemendikdasmen, Laela juga mengaku bahwa ia menyukai tulisan N.H. Dini karena tulisannya jujur dan orisinal. Ia mengatakan bahwa N.H. Dini adalah penulis yang mandiri dalam membangun karyanya tanpa harus disertai sebuah entourage.

Jadi Inspirasi

Leila S. Chudori menjadi inspirasi karena keberaniannya mengangkat sejarah kelam dengan empati dan ketelitian. Ia membuktikan bahwa sastra dapat menjadi media refleksi sosial dan penjaga ingatan kolektif.

Banyak penulis muda menjadikannya panutan, bukan hanya karena kualitas karya, tetapi juga konsistensinya dalam menjaga integritas dan kebebasan berekspresi.

Sementara itu, dikutip dari laman Kemendikdasmen, Leila S. Chudori memandang bahasa sebagai kunci utama dalam menulis fiksi. Bagi Leila, bahasa bukan sekadar alat penyampai cerita, melainkan jembatan yang membawa pembaca memasuki dunia alternatif yang diciptakan pengarang.

Karena itu, sekuat apapun sebuah gagasan, ia tak akan bersinar jika disampaikan secara datar dan ceroboh. Sebaliknya, ide yang tampak sederhana justru dapat menjelma menjadi karya yang menggugah ketika dituturkan dengan pilihan kata yang tepat, pengolahan yang cermat, dan kecerdasan berbahasa, sebuah prinsip yang konsisten tercermin dalam seluruh karya Leila.

Penghargaan

Jejak apresiasi terhadap karya Leila terbentang panjang dan konsisten. Perjalanan itu dimulai pada 2006, ketika ia meraih Penghargaan Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji dari Festival Film Bandung lewat Dunia Tanpa Koma, menegaskan kekuatannya dalam dunia penulisan skenario.

Lima tahun kemudian, pada 2011, kumpulan cerpen 9 Dari Nadira dianugerahi Penghargaan Sastra Badan Bahasa Indonesia, disusul pengakuan bergengsi Khatulistiwa Literary Award 2013 untuk novel Pulang dalam kategori prosa.

Puncak pengakuan regional datang pada 2020 melalui Southeast Asian Writers Award (S.E.A. Write Award) untuk novel Laut Bercerita, karya yang kembali menuai kehormatan nasional sebagai Book of the Year IKAPI Award 2022.

Terbaru, pada 2025, Leila S. Chudori dinobatkan sebagai Tatler Most Influential (Indonesia), menegaskan posisinya bukan hanya sebagai sastrawan penting, tetapi juga figur berpengaruh dalam lanskap budaya dan intelektual Indonesia.

Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif di Bidang Sastra