Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menetapkan peningkatan kewajiban pemberian plasma kebun sawit bagi masyarakat dari 20 persen menjadi 30 persen. Keputusan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat komitmen sosial perusahaan kelapa sawit.
Saat ini, terdapat sekitar 16 juta hektare (ha) Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh sekelompok pengusaha kelapa sawit dengan total 2.869 Izin Usaha Perkebunan (IUP).
“Minimal 30 persen untuk masyarakat dalam proses pembaruan HGU. Ini dilakukan agar petani lebih banyak menikmati manfaat dari perkebunan sawit,” ujar Nusron dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/01/2025).
Baca Juga: BPDP Umumkan Penyaluran Dana Peremajaan Sawit Rakyat Dilanjutkan
Nusron menegaskan bahwa kebijakan ini juga bertujuan untuk memperketat regulasi terkait tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ia memperingatkan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma tidak akan diberikan perpanjangan HGU.
“Jika tidak ada komitmen dalam bentuk pemberian plasma, perpanjangan HGU tidak akan diberikan. Sebelumnya, plasma hanya dijanjikan setelah perpanjangan HGU, tetapi sekarang aturannya lebih tegas,” tegasnya.
Kebijakan ini diberlakukan khusus bagi perusahaan kelapa sawit yang hendak memperpanjang HGU pada tahap ketiga. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), HGU memiliki jangka waktu maksimal 25 hingga 35 tahun. Nusron menekankan bahwa perusahaan yang telah menikmati HGU selama 60 tahun akan mendapatkan perpanjangan hingga 95 tahun dengan syarat penambahan kewajiban plasma dari 20 persen menjadi 30 persen.
Baca Juga: Mengenal Raja Sawit Indonesia Martua Sitorus: Sosok Pekerja Keras
“Karena sudah menikmati selama 60 tahun dan akan ditambah 35 tahun lagi, maka pada tahap ketiga kami minta tambahan 10 persen,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan audit plasma di sektor rantai pasok (supply chain) untuk memastikan perusahaan menjalankan kerja sama yang adil dengan petani. Nusron mengungkapkan bahwa masih banyak perusahaan yang menyalurkan plasma melalui koperasi, tetapi koperasi tersebut justru dikelola oleh karyawan perusahaan, bukan oleh petani.
“Memang betul tanah tersebut diberikan kepada koperasi, tetapi banyak koperasi yang justru milik karyawan perusahaan, bukan petani. Ini yang membuat kami tidak puas, karena ujung-ujungnya mereka tetap menjadi karyawan, bukan pengelola lahan yang sebenarnya,” pungkasnya.