Growthmates, dalam dunia yang semakin mengedepankan hasil instan dan kesempurnaan, banyak organisasi atau perusahaan dan para pemimpinnya terjebak dalam ilusi bahwa semua harus berjalan mulus sejak awal.

Mereka ingin proyek ambisius, bahkan sebesar misi ke Bulan ingin sukses pada percobaan pertama. Namun, sejarah justru membuktikan bahwa keberhasilan sejati sering kali lahir dari rangkaian kegagalan yang penuh pelajaran.

Seperti dikatakan Martin Reeves, Kepala BCG Henderson Institute, salah satu cara paling ampuh untuk mendekati kesuksesan dalam proyek berskala besar adalah dengan merangkul eksperimen, pembelajaran cepat, adaptasi, dan inovasi.

Dan tak ada contoh lebih konkret dari filosofi ini selain NASA, badan antariksa Amerika Serikat yang sejak 1958 telah menghadapi tantangan luar biasa dalam menempatkan manusia dan mesin di luar angkasa.

NASA dan Filosofi Kegagalan yang Terukur

Dikutip dari Forbes, Senin (11/8/2025), sejarah program luar angkasa AS ini dipenuhi momen dramatis, dari peluncuran Sputnik oleh Uni Soviet pada 1957 hingga tantangan Presiden John F. Kennedy pada 1961 untuk mengirim manusia ke Bulan dan membawanya kembali dengan selamat.

Misi besar ini bukannya tanpa hambatan. Sebut saja kebakaran tragis Apollo 1 saat uji coba pada 1967, ledakan Pesawat Ulang-alik Challenger tahun 1986, hingga tragedi Columbia pada 2003, semuanya menelan korban jiwa.

Namun, seperti diungkapkan oleh Robert ‘Bob’ Gibbs, mantan Asisten Administrator NASA, keberhasilan organisasi ini tidak ditentukan oleh ada tidaknya kegagalan, melainkan oleh bagaimana mereka bereaksi terhadapnya.

"Yang bukan pilihan, dan tidak seharusnya jadi pilihan adalah berkubang dalam kegagalan," tegasnya.

Baca Juga: Bangkit dari Kegagalan, Intip Perjalanan Okta Wirawan Bangun Abuya Group Jadi Raksasa Kuliner

Kegagalan sebagai Sistem Pembelajaran

Dalam budaya organisasi yang sehat kegagalan bukanlah akhir. Ia menjadi ruang belajar. NASA, misalnya, membuka diskusi pascakegagalan secara transparan, mengevaluasi sumber masalah, memperbaiki sistem, dan terus melangkah.

Gibbs menyebut, pendekatan ini jauh lebih produktif dibanding gaya kepemimpinan 'bunuh pembawa pesan' yang menghukum tanpa membuka ruang refleksi.

NASA bahkan memiliki sistem pembelajaran terbuka bernama Lessons Learned Information System yang menyimpan dan membagikan pelajaran penting dari setiap kegagalan, agar tidak diulang dan bisa diadopsi lintas tim.

SpaceX dan Jalan Berliku Menuju Mars

Pendekatan ini juga tercermin dalam era baru eksplorasi ruang angkasa yang melibatkan sektor swasta. SpaceX, misalnya, telah melakukan sembilan uji coba untuk roket Starship setinggi 400 kaki, banyak di antaranya gagal.

Namun, dari setiap kegagalan itulah muncul pemahaman baru, inovasi teknis, dan penyempurnaan strategi. Tujuannya bukan hanya ke Bulan, tapi menembus batas menuju Mars.

Seperti kata pepatah, jalan ke bintang-bintang penuh batu. Tapi, justru dari batu-batu itulah jembatan keberhasilan dibangun.

Lebih lanjut, Gibbs pun menawarkan serangkaian pertanyaan reflektif yang bisa digunakan untuk mengukur apakah organisasi Anda memiliki budaya yang mendukung pembelajaran dari kegagalan, diantaranya:

  • Apakah ide-ide tidak konvensional didorong dalam rapat?
  • Apakah masalah dan kekhawatiran bisa dibicarakan terbuka?
  • Apakah karyawan diberi kesempatan kedua setelah gagal?
  • Apakah kesalahan dianggap sebagai peluang belajar, bukan alasan untuk dihukum?
  • Apakah eksplorasi dan eksperimen didorong?
  • Apakah tim punya ruang untuk berpikir dan refleksi?
  • Apakah pelajaran dari kegagalan dibagikan secara terbuka?

Dikatakan Gibbs, menjawab 'ya' untuk semua pertanyaan ini adalah indikator bahwa organisasi Anda tidak hanya siap untuk gagal, tetapi siap untuk sukses lewat kegagalan.

Nah Growthmates, dari laboratorium NASA hingga ruang rapat perusahaan, pelajaran yang sama pun berlaku, kegagalan bukan akhir dari cerita. Namun, justru kegagalan adalah bagian penting dari proses menuju keberhasilan yang lebih besar.

Baca Juga: Bagaimana Cara Menghadapi Kegagalan?