Presiden Jokowi resmi membuka kembali ekspor pasir laut usai diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 oleh Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan. 

Regulasi Permendag Nomor 20 Tahun 2024 merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2003 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Sementara itu, Permendag Nomor 21 Tahun 2024 merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Baca Juga: Daftar Perusahaan Asing yang Sudah dan Belum Diakuisisi Selama Era Kepemimpinan Jokowi

Kebijakan ini diklaim perlu dilakukan untuk mengatur pemanfaatan sedimentasi pasir laut untuk reklamasi, pemanfaatan pasir laut, serta kegiatan ekspor. Fenomena ini tentunya menuai kritikan dari berbagai pihak karena dianggap merugikan dan merusak alam Indonesia. Bagaimana fenomena ini dianggap merugikan masyarakat?

20 Tahun Larangan Kebijakan Ekspor Pasir Laut

Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, ekspor pasir ke luar negeri resmi dilarang. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/3003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Penghentian ekspor pasir laut ini dilarang karena adanya kerusakan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Usai 20 tahun dilarang, pemerintahan Jokowi mengambil sikap berbeda dengan mengizinkan kembali aktivitas ekspor pasor laut. Kementerian Perdagangan menegaskan, ekspor pasir tidak bisa dilakukan secara serampangan. Izin ekspor pasir laut baru akan dilakukan jika kebutuhan negara sudah terpenuhi. 

Permendag Nomor 20 Tahun 2024 merupakan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pada Pasal 6, Pemerintah mengizinkan adanya pengerukan pasir untuk mengendalikan hasil sedimentasi di laut melalui pembersihan hasil sedimentasi di Laut.

Dilansir dari Kompas.com, meskipun ekspor pasir laut dilarang sejak 2003, ekspor pasir laut ke Singapura terus berjalan hingga 2012. Daerah yang marak dalam pengerukan pasir laut adalah Pulau Nipa, Batam.  Pengerukan secara besar-besaran ini hampir membuat Pulau Nipa tenggelam karena abrasi dan menyebabkan harga pasir di Singapura lebih mahal dari harga di dalam negeri.

Bukan Pasir Laut, Tapi Sedimen Pasir

Presiden Jokowi membantah membuka kembali ekspor pasir laut. Menurutnya, komoditas yang diizinkan untuk diekspor adalah hasil sedimen pasir, bukan pasir laut. Keduanya adalah adalah dua hal yang berbeda meskipun memiliki bentuk pasir. 

“Sekali lagi, itu bukan pasir laut, yang dibuka adalah sedimen. Sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Kalau diterjemahkan pasir itu beda, sedimen itu beda, meskipun ujungnya juga pasir,” ujar Jokowi, dilansir Olenka melalui Metro Tv.

Dalam PP Nomor 26 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa  hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.

Kebijakan pengerukan pasir laut dapat menyebabkan air laut menjadi keruh yang membuat ikan-ikan menjauh. Hal ini dapat berdampak pada hasil tangkapan para nelayan. Selain itu, biota laut yang tidak bisa berenang cepat akan ikut terkeruk.

Pengerukan pasir yang dilakukan terus menerus dapat berdampak pada pulau-pulau kecil akan mengalami abrasi dan terancam tenggelam. Selain itu, pengerukan pasir laut dapat memicu kenaikan permukaan air laut sehingga menimbulkan abrasi.

“Yang paling buruk adalah Indonesia luasnya akan semakin berkurang, kita akan menghadapi bencana, sementara negara lain akan semakin luas,” ujar Zenzi, Direktur Eksekutif Walhi, diberitakan Kompas Tv, Minggu (15/9/2024)