Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengaku setiap kegagalan mesti dinikmati.Dia bilang setiap usaha yang dibangun kerap kali tak langsung menuai kesuksesan, ada jalan panjang yang mesti dilewati untuk menapaki kaki di puncak kesuksesan sebuah usaha. Kegagalan yang merintangi dalam setiap prosesnya adalah sebuah hal lazim. 

Menurut Jahja, kegagalan adalah pelajaran berharga, itu adalah tamparan keras yang selalu diingat, jadi menurutnya kegagalan mesti diterima dengan lapang dada, itu adalah proses yang mesti dinikmati. 

Baca Juga: Komitmen BCA Digital Perkuat Inklusi Keuangan Digital di Indonesia

“Kalau masalah kegagalan, saya pikir kita harus menikmati kadang-kadang. Ini aneh kalau bilang menikmati kegagalan. Karena once you pernah gagal, itu anda akan ingat terus,” kata Jahja dalam sebuah kesempatan dilansir Olenka.id Minggu (3/11/2024). 

Namun Jahja menekankan, kegagalan jangan sampai membuat kapok ia merupakan sebuah media pembelajaran sekaligus pemberi pengalaman berharga. Dari kegagalan orang bisa belajar berbenah untuk menjadi lebih baik.

“It's a learning yang penting sekali ya. Learning by doing itu betul-betul kita lakukan ya,” ucapnya.

Bankir ulung itu mengaku kegagalan juga sempat ia rasakan berkali-kali ketika membangun dan mengembangkan BCA. Salah satu yang memorable dan yang tak pernah ia lupakan adalah ketika membangun outlet-outlet baru di Malaysia.

Hitung-hitungan di atas kertas, BCA seharusnya meraup untung besar dalam waktu yang relatif singkat, sebab sebagaimana yang kita ketahui bersama banyak sekali pekerja Indonesia baik legal ataupun ilegal di sana. Secara teori mereka bakal memilih BCA sebagai bank untuk menaruh uang atau bertransaksi.

Atas hitung-hitungan itu pula BCA langsung jorjoran, tak tangung-tanggung mereka langsung membuka enam outlet. Jahja percaya diri ini bakal sukses besar sebab metode yang sama juga sudah diterapkan di Hongkong dan Singapura, hasilnya menjanjikan sekali.

“Kalau secara pemikiran di Malaysia itu kalau nggak salah ada 3 sampai 5 juta Indonesian worker yang legal maupun yang illegal ada di sana gitu kan. Jadi marketnya besar sekali dan mereka butuh income yang diperoleh akan transfer ke Indonesia kan. Ke keluarga-keluarga mereka kan,” ujarnya.

Namun sayangnya hitung-hitungan mereka tak berjalan sesuai rencana, BCA justru terus merugi di awal. Bahkan kerugian itu terus dialami hingga setahuan. 

“Ternyata masih rugi,satu bulan, dua bulan, setahun masih rugi,” bebernya.

Bukannya kapok atas kerugian di tahun pertama, BCA justru membuka outlet baru di sana dengan jumlah yang jauh lebih banyak. 

Mereka menutup enam outlet pertama dan membuka 16 outlet baru. Tak muluk-muluk mereka menargetkan keuntungan dalam jangaka sekitar empat hingga enam tahun, itu artinya BCA sudah siap menikmati kerugian selama bertahun-tahun.

“Kenapa? Karena ada yang namanya fixed cost. Ya fixed cost itu adalah biaya investasi yang besar yang awal yang harus diserap. Baru bisa untung,” ucapnya.

“Nah untuk menutup itu maka kita harus punya 16 outlet. Waktunya berapa lama? Mungkin sekitar 4 tahun lagi katanya. Jadi karena dari 6 menjadi 16 kan perlu waktu.

"Jadi itu paling tidak 4 tahun lagi baru profitable. Nah saat itu saya putuskan. Cut loss, tutup 6 outlet ini kita cut loss,” tambahnya.

Dari kerugian pertama, BCA memetik berbagai pelajaran berharga. Mereka kemudian menerapkan model bisinis yang baru yakni kerja sama dengan berbagai pihak seperti bank asal Malaysia Al Rajhi Bank hingga money changer. Hasilnya mereka justru mendulang untung besar setelah 9 bulan beroperasi.

Baca Juga: Pertumbuhan Kredit 14,5% Dongkrak Laba Bersih BCA Capai Rp41,1 Triliun per Q3/2024

“Jadi pernah dulu mengalami kesalahan. Baru kita bisa memperbaiki dan ujungnya bisa mendapatkan keuntungan gitu. Kalau kita ngotot gitu. Eh udah salah terusin aja dah 4 tahun. Ya bayangkan harus nunggu 4 tahun. Dan itu kan hitungan di atas kertas.4 tahun apakah pasti untung? Belum tentu,” tuntasnya.