Nama Peng Koen Auw Jong atau lebih dikenal sebagai Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong), merupakan salah satu figur penting dalam sejarah pers dan penerbitan Indonesia.

Ia bukan hanya pendiri Harian Kompas dan Kelompok Kompas Gramedia, tetapi juga seorang guru dan cendekiawan yang menempatkan kejujuran serta idealisme sebagai fondasi utama media.

Dedikasinya pada dunia jurnalistik terwujud melalui lahirnya sejumlah media besar yang masih eksis hingga kini. 

Dikenal sebagai jurnalis yang kritis dan tajam, P.K. Ojong kerap menulis artikel yang mengupas kebijakan pemerintah dengan keberanian dan integritas.

Dan, dikutip dari berbagai sumber, Jumat (31/10/2025), berikut Olenka ulas profil dan kiprah Petrus Kanisius Ojong selengkapnya.

Latar Belakang Keluarga

Dikutip dari buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia: P.K. Ojong (2014) karya Helen Ishwara, P.K. Ojong lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Auw Jong Peng Koen, dari pasangan Auw Jong Pauw dan Njo Loan Eng Nio.

Ayahnya merupakan seorang perantau dari Pulau Quemoy (kini wilayah Taiwan), merintis usaha tembakau di Payakumbuh, Sumatera Barat. Hidup berkecukupan tak membuat keluarga ini melupakan nilai-nilai penting, yaitu hemat, disiplin, dan tekun, tiga prinsip yang terus diwariskan kepada anak-anaknya.

Sejak kecil, Peng Koen dikenal serius dan pekerja keras. Dikutip dari Tokoh.id, sang ayah kerap berpesan agar nasi di piring dihabiskan sampai butir terakhir, sebuah ajaran sederhana yang membentuk wataknya hingga dewasa.

Pendidikan dan Masa Muda

Ojong menempuh pendidikan di Hollandsch Chineesche School (HCS) di Payakumbuh, kemudian melanjutkan ke HCS Katolik di Padang dan MULO Katolik yang diasuh oleh Frater Nicander dan Frater Servaas. Sejak sekolah, ia dikenal disiplin, tekun, dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.

Masih dikutip dari buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia: P.K. Ojong (2014) karya Helen Ishwara, masa pendidikan ini juga menumbuhkan ketertarikannya pada ajaran Katolik.

Ia kemudian dibaptis dengan nama Andreas, dan kelak mengganti namanya menjadi Petrus Kanisius saat pemerintah menganjurkan warga Tionghoa untuk memakai nama Indonesia, nama ini ia pilih agar inisial ‘P.K.’ tetap melekat, sembari menghormati Santo Petrus Kanisius, seorang reformis Katolik yang ia kagumi.

Setelah menamatkan pendidikan guru di Sekolah Guru Atas Negeri Jatinegara (1937–1940), Ojong melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan lulus pada 1951.

Kehidupan Pribadi

Pada 1947, Ojong bertemu Catherine, gadis asal Magelang yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Mereka menikah pada 6 Juli 1949 dan dikaruniai 6 anak, yakni 4 laki-laki dan 2 perempuan. Mereka adalah Remigius Harli Ojong, Joseph Handi Ojong, Andreas Sasongko Ojong, Carolus Irwan Ojong, Sri Melani Ojong, dan Sri Mariani Ojong.

Meski menjadi tokoh besar, kehidupan pribadi Ojong tetap sederhana. Ia tak malu mengenakan pakaian tambalan, menggunakan mobil lama, dan menyuguhkan kue kering sendiri kepada tamunya.

“Kalau tidak punya uang, jangan bikin pesta”, begitu prinsip hidupnya. Ia lebih memilih membantu orang yang benar-benar membutuhkan daripada menghamburkan uang untuk perayaan.

Dari Guru ke Dunia Jurnalistik

Karier P.K. Ojong dimulai sebagai guru di SD Budi Mulia, Mangga Besar, Jakarta. Namun, ketika pendudukan Jepang membuat banyak sekolah ditutup, ia kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi penulis lepas.

Tahun 1946 menjadi titik balik. Dikutip dari Wikipedia, Ojong mulai menulis untuk Keng Po dan Star Weekly, majalah yang diasuh oleh wartawan senior Khoe Woen Sioe.

Melihat kecerdasan dan kedisiplinannya, Khoe mengangkat Ojong sebagai wartawan tetap, hingga akhirnya ia menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly pada 1951.

Tulisan-tulisan Ojong tajam dan berani. Ia kerap mengkritik kebijakan pemerintah, hingga majalah itu akhirnya dibredel pada 1961. Namun, semangat jurnalistiknya tak padam.

Pasca-pembredelan, Ojong mendirikan PT Saka Widya, yang bergerak di bidang penerbitan buku. Dari sinilah ia berkolaborasi dengan Jakob Oetama, sahabat sekaligus mitra idealisnya.

Dikutip dari Kompas.com, keduanya mendirikan majalah Intisari pada 17 Agustus 1963, majalah pengetahuan populer yang bertujuan mencerdaskan masyarakat. Dua tahun kemudian, atas saran Jenderal Ahmad Yani, mereka melahirkan harian Kompas pada 28 Juni 1965, sebuah media yang menjadi ikon jurnalisme moderat dan berintegritas di Indonesia.

Keberhasilan Kompas mendorong lahirnya berbagai unit usaha lain, yakni Gramedia Printing (1972), Penerbit Gramedia (1974), Radio Sonora (1972), hingga toko buku Gramedia (1970). Semua ini menjadi fondasi dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG), yang hingga kini menjadi raksasa media dan penerbitan di Tanah Air.

Baca Juga: Mengenang Theresia Widia Soerjaningsih, Rektor Pertama dan Perempuan Visioner Pendiri Binus University

Filosofi dan Kepemimpinan

Dikutip dari Indonesiana.id, Ojong dikenal sebagai sosok yang pekerja keras, hemat, disiplin, dan welas asih. Ia percaya bahwa kemakmuran perusahaan harus tercermin dari kesejahteraan karyawan.

Saat kondisi perusahaan sulit, ia tetap mempertahankan tunjangan stafnya dan membentuk dana pensiun bagi karyawan.

Sebagai pemimpin redaksi, Ojong sangat peduli terhadap bahasa dan kualitas tulisan. Ia bahkan mengundang akademisi untuk mengoreksi bahasa di redaksi Kompas, menjadikan koran itu acuan nasional dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik.

Anak Ojong, Sri Mariani Ojong, pun pernah mengatakan bahwa ayahnya dan Jakob Oetama selalu fokus pada cita-cita untuk mencerahkan bangsa melalui produk jurnalistik berkualitas.

Ojong juga bukan hanya jurnalis dan pengusaha, tapi juga pemikir sosial dan pendidik bangsa. Ia ikut mendirikan Universitas Tarumanagara, aktif di berbagai organisasi seperti Partai Katolik, Yayasan Indonesia (penerbit majalah Horison), dan Lingkaran Seni Jakarta.

Sebagai penulis, Ojong sangat produktif. Ia menulis ratusan artikel di rubrik Kompasiana dan menerbitkan seri buku sejarah Perang Dunia II yang hingga kini menjadi referensi penting bagi pembaca Indonesia.

Sumbangsih P.K. Ojong di Berbagai Bidang

Sumbangsih P.K. Ojong terhadap bangsa tidak hanya tercermin dari kiprahnya di dunia jurnalisme, tetapi juga meluas ke berbagai bidang kehidupan. Sebelum dikenal sebagai wartawan, ia lebih dulu menapaki jalan sebagai seorang guru.

Lulusan Sekolah Guru Negeri Jatinegara tahun 1940 ini mengajar di SD Katolik Mangga Besar, Jakarta, dan dikenal sebagai pendidik yang disiplin serta berdedikasi. Kepeduliannya pada dunia pendidikan tidak berhenti di ruang kelas.Ia aktif dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya dan bahkan menjadi pencetus nama Universitas Tarumanagara.

Melalui pendirian Toko Buku Gramedia pada tahun 1970, Ojong juga berupaya mempermudah akses masyarakat terhadap bacaan bermutu guna memperluas wawasan bangsa, komitmen yang kemudian diteruskan lewat lahirnya Universitas Multimedia Nusantara (UMN), salah satu wujud nyata visi Kompas Gramedia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kecintaannya pada pendidikan sejalan dengan kepedulian Ojong terhadap keadilan. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada 1951, ia menunjukkan bahwa membela kebenaran tidak selalu harus dilakukan di ruang sidang.

Melalui rubrik “Kompasiana” di Harian Kompas, ia menulis kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah dan membela rakyat kecil. Ia juga turut menyokong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin dan teraniaya. Prinsip kejujuran dan integritas hukum menjadi pegangan dalam setiap langkahnya, baik sebagai wartawan, pemimpin, maupun pribadi.

Dikutip dari laman Gramedia.com, dalam dunia bisnis, Ojong menanamkan nilai-nilai kemanusiaan melalui penerapan prinsip ‘ekonomi humanis’ di Kompas Gramedia, perusahaan yang ia dirikan bersama Jakob Oetama. Bagi Ojong, kesejahteraan karyawan adalah bagian dari kesuksesan perusahaan.

Ia tegas memisahkan urusan redaksi dan bisnis, namun tetap dikenal akrab dengan semua karyawan tanpa memandang jabatan. Warisan nilai-nilai inilah yang hingga kini menjadi roh budaya kerja Kompas Gramedia.

Kecintaannya terhadap seni dan budaya pun tak kalah besar. Ia dikenal gemar membeli karya pelukis lokal sebagai bentuk dukungan agar para seniman Indonesia dapat terus berkarya. Selain itu, Ojong juga mengoleksi keramik tua dan martavan Tiongkok.

Salah satu peninggalan yang paling berharga adalah ‘rumah kudus’, bangunan tradisional Jawa Tengah yang ia pindahkan ke Palmerah Selatan. Kini, rumah itu menjadi bagian dari Bentara Budaya Jakarta, ruang yang mewadahi pameran seni, pertunjukan, dan diskusi kebudayaan.

Di bidang lingkungan, Ojong dikenal sebagai sosok yang mencintai tanaman dan menjadi pelopor penghijauan Jakarta. Sejak tahun 1952, ia telah mencanangkan gerakan menanam pohon di ibu kota dan aktif berdiskusi dengan Gubernur Ali Sadikin mengenai pelestarian ruang hijau. Melalui tulisannya di rubrik Kompasiana, ia menanamkan kesadaran ekologis jauh sebelum isu lingkungan menjadi perhatian publik.

Akhir Hayat dan Warisan Abadi

Menjelang akhir hayat, Ojong masih aktif menulis. Tulisan terakhirnya, “Berakhir Pekan di Australia”, dimuat di Intisari edisi April 1980.

Sebulan kemudian, pada 31 Mei 1980, Catherine menemukan suaminya telah berpulang dengan buku terbuka di sampingnya.

Untuk mengenang jasanya, patung P.K. Ojong pun dibangun di halaman Bentara Budaya Jakarta, lembaga nirlaba milik Kompas Gramedia yang ia dirikan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.

Baca Juga: Mengenang Sosok Kartini Muljadi, Perempuan Visioner di Balik Kerajaan Tempo Scan