Kontribusi Nyata
Dikutip dari Tabloid Bintang, Yenny pernah mendalami riset antimalaria berbasis tanaman Artemisia annua. Ia berupaya membuat formulasi obat yang lebih efektif dan terjangkau, karena metode konvensional dalam menghasilkan bahan aktif seperti DHA (dihydroartemisinin) memakan waktu dan biaya tinggi.
Dengan teknologi nano, proses pengolahan bahan baku dapat dipersingkat sekaligus meningkatkan efikasi obat. Atas riset ini, ia menjadi salah satu pemenang L’Oreal-UNESCO For Women in Science National Fellowship Awards 2016.
Upayanya menunjukkan komitmen kuat menciptakan inovasi sains yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Diakui di Indonesia dan Dunia
Berkat karya dan kontribusinya, Yenny telah meraih berbagai penghargaan bergengsi, dikutip dari Wikipedia. Penghargaan Indonesia Toray Science Foundation Research Grant pada tahun 2015 menjadi salah satu apresiasi awal dalam karier risetnya, disusul L’Oreal–UNESCO For Women in Science Fellowship pada 2016 dan Penghargaan Diseminasi Teknologi dari LIPI pada 2017.
Pada 2018, Yenny menerima Penghargaan Wirakarya dari Presiden RI, serta meraih Perempuan Bintang Awards untuk kategori Bintang Ilmiah di tahun yang sama. Pada periode 2019–2023, ia ditunjuk sebagai anggota Chemical Review Committee (CRC) Rotterdam Convention.
Pengakuan internasional kembali datang melalui posisinya sebagai Finalist WAITRO Innovation Award 2021, hingga akhirnya ia memperoleh Hitachi Global Foundation Innovation Award 2021 untuk kategori Outstanding Innovation.
Dan, dikutip dari laman Instagram BRI, ia pun pernah mendapat penghargaan “Innovation and Research Award dari Swiss German University” karena kontribusinya dalam kolaborasi riset antara Pusat Riset Kimia Maju dengan Swiss German University.
Tak Pernah Menyangka Menjadi Peneliti
Dikutip dari Tabloid Bintang, perjalanan Yenny sebagai ilmuwan tidak dimulai dari ambisi besar. Ia mengaku tak pernah menyangka akan menjadi seorang peneliti. Minatnya pada kimia tumbuh saat menjalani studi S2. Dari sanalah ia mulai memahami betapa aplikatif dan dekatnya kimia dengan kehidupan sehari-hari.
“Ketika menjalani pendidikan S-2, pikiran lebih terbuka. Oh, kimia itu termasuk membicarakan antioksidan dalam teh, atau jangan membakar satai sampai gosong karena bisa menyebabkan kanker. Ilmu kimia ternyata aplikatif dan asyik,” kenangnya.
Keraguannya berubah menjadi keyakinan ketika ia bergabung dengan LIPI pada 2005.
“Jadi peneliti kesannya menjelimet. Namun begitu menggeluti penelitian, banyak sekali yang bisa diaplikasikan di sekitar kita. Ternyata itu jadi hal yang menarik,” tuturnya.
Bagi Yenny, kegiatan riset bukan sekadar profesi, melainkan bentuk kontribusi untuk masyarakat. Ia pun menggambarkan kepuasan menemukan solusi ilmiah sebagai sesuatu yang tidak ternilai.
“Ketika kami meriset sesuatu dan menemukan jalan keluarnya, rasanya lebih daripada segalanya. Itu tidak bisa dinilai dengan uang. Siapa tahu bisa bermanfaat buat yang lain. Hasil ini membuat saya merasa, ternyata saya ada gunanya juga di dunia ini,” tuturnya.
Baca Juga: Mengenal Profesor Adi Utarini: Ilmuwan di Balik Kesuksesan Program Pembasmian Nyamuk Demam Berdarah