Beberapa tahun belakangan, istilah lierasi dan gerakan literasi semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Terlebih saat ini sudah semakin masif pegiat literasi di kalangan sekolah maupun non formal.
Semakin populernya istilah literasi di telinga masyarakat Tanah Air ini paling tidak disebabkan karena empat hal, di antaranya semakin tumbuhnya kesadaran betapa fundemental, strategis, dan pentingnya bagi kemajuan dan masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia. Baik secara historis maupun sosiologis terbukti bahwa masyarakat dan bangsa yang maju dan unggul selalu disokong oleh adanya literasi.
Kedua, semakin disadarinya oleh sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia termasuk pemerintah Indonesia bahwa kemajuan dan keunggulan individu, masyarakat, dan bangsa juga ditentukan oleh adanya tradisi dan budaya literasi yang baik.
Ketiga, semakin kuatnya kepedulian dan keterlibatan berbagai kalangan masyarakat, komunitas dan pemerintah dalam usaha-usaha menumbuhkan, memantapkan, dan bahkan menyebarluaskan kegiatan, program, tradisi, dan budaya literasi di lingkungan masyarakat, lingkungan komunitas, dan lingkungan pendidikan. Dan yang terakhir, semakin banyaknya gerakan-gerakan literasi yang berkembang di masyarakat dan sekolah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Literasi di Indonesia, Sudah Ada Sejak Ribuan Tahun Lalu Lho
Konsep literasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya literasi sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai kepahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tak mengherankan, kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis.
Deklarasi Praha pada tahun 2003
Namun, seiring berkembangnya zaman, arti literasi meluas, tidak hanya sebatas membaca dan menulis saja. Dalam konteks inilah Deklarasi Praha pada tahun 2003 mengartikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam berkomunikasi di masyarakat. Di sinilah literasi sering dianggap sebagai kemahiran berwacana.
Deklarasi UNESCO
Kemudian, pada Deklarasi UNESCO 2003, disebutkan juga bahwa literasi informasi berkaitan pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Gerakan Literasi Sekolah
Pada tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”. Peluncuran Gerakan Literasi Sekolah itu dilakukan secara simbolis dengan menyerahkan buku paket bacaan untuk 20 sekolah di DKI Jakarta sebagai bahan awal kegiatan literasi.
Gerakan Literasi Sekolah dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak.
Sejalan dengan itu, dalam program Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud mengartikan kemampuan berliterasi sebagai adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai kegiatan, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan atau berbicara. Di tengah maraknya informasi melalui berbagai media baik media massa maupun media sosial, kemampuan berliterasi tersebut sangat penting.
Baca Juga: 7 Ide Program Kreatif Literasi, Cocok Dijalankan di Sekolah!
Dengan kemampuan literasi yang baik, masyarakat bisa tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai informasi yang beraneka ragam, tidak mudah terprovokasi, bijak dalam mengambil keputusan dan menentukan sikap dalam menyerap informasi.
Sejalan dengan literasi yang terus berkembang, dewasa ini bentuk dan jenis literasi juga ikut berkembang bersamaan dengan perkembangan hakikat dan konsepnya. Sampai sekarang telah terdapat berbagai bentuk dan jenis literasi yang ditawarkan atau dikembangkan oleh berbagai pihak. Sebagai contoh, PISA (Programme for International Student Assesment) yang dikoordinasikan oleh OECD telah mengategorikan literasi menjadi tiga, yakni literasi keilmu-alaman (scientifical literacy), kebeberaksaraan matematis (mathematical literacy), dan literasi membaca (reading literacy).
Dalam berbagai terbitannya mengenai masyarakat informasi, UNESCO menyatakan adanya literasi informasi dan literasi media. Selanjutnya, Mochtar Buchori (pemikir pendidikan dan pendidik cemerlang) menyebutkan adanya literasi budayawi (cultural literacy) dan literasi sosial (social literacy). Belakangan juga berkembang literasi ekonomis (economic literacy), literasi keuangan (financial literacy), dan literasi kesehatan (health literacy). Pada masa-masa mendatang niscaya akan terus berkembang kategori literasi lain.