Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, mengatakan sebagai sektor hilir, sektor tembakau telah berkontribusi besar bagi pendapatan usaha ritel sampai PDB, sehingga imbas hilangnya pendapatan pelaku usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes perlu dimitigasi baik-baik oleh pemerintah.
Roy terus menyayangkan pelaku usaha, sebagai ujung pelaksana aturan pemerintah, yang justru tidak diajak bicara dan seringkali mendapatkan misinformasi akibat pengambilan keputusan yang tidak transparan.
“Peran Kemenkes jangan sampai tumpang tindih. Ada pasal yang ambigu dan tidak bisa dilaksanakan, lalu apakah pasal itu hanya menjadi pajangan? Sementara di lapangan terjadi ‘perdamaian’ dengan oknum. Ini antara input, proses, dan outputnya saja sudah tidak benar,” keluhnya.
Roy menyoroti kekhawatiran pelaku usaha yang telah mematuhi aturan menjual produk legal, akan dihadapkan dengan peningkatan rokok ilegal yang dapat terjadi akibat aturan ini. Bukannya fokus pada penekanan rokok llegal, pemerintah justru malah menekan penjualan rokok legal yang selama ini telah berkontribusi besar terhadap negara.
“(Penyusunan aturan ini) perlu ada keterlibatan pelaku usaha. Silakan jika ingin fokus ke kesehatan, tapi jangan mengatur penjualan dan ikut sertakan kami pelaku usaha. Itulah suara hati kami dari warung-warung, toko tradisional, semua menyuarakan hal yang sama,” pintanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, juga kerap menyayangkan proses perumusan peraturan pemerintah secara omnibus yang menitikberatkan justifikasi di Kemenkes.
Di mana pelaku usaha dinilai hanya sebagai ‘cadangan’ yang tidak dilibatkan dalam penyusunannya, padahal sektor tembakau memiliki banyak stakeholder dengan berbagai kepentingan yang tidak boleh disimplifikasi.
“Dengan aturan yang diomnibuskan ini, kita jadi terlihat kecil dan terpinggirkan. Setelah PPnya keluar, Kemenkes percepat semua prosesnya. Ini kan memang gejala yang cukup aneh, tidak tahu apa ini pernah terjadi di negeri ini sebelumnya atau tidak,” tukasnya.
Berdasarkan hasil studi dampak dari Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi yang signifikan. Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun