Kiprah dan Kontribusi
Stella Christie aktif berkiprah tidak hanya di ranah akademis internasional, tetapi juga memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan pendidikan dan sains di Indonesia.
Ia pernah menjadi pembicara dalam acara Kemendikbudristek tahun 2020 yang membahas “Creating Ecosystem for Creativity in Higher Education”, sekaligus menuliskan kata pengantar untuk buku “Kumpulan Esai tentang Memupuk Kreativitas di Indonesia”.
Keterlibatannya juga meluas sebagai penasihat kebijakan, mulai dari isu pendidikan di era kecerdasan buatan bersama Dinas Pendidikan DKI Jakarta, hingga medical AI bersama Kementerian Kesehatan, serta menjadi narasumber bagi Bank Indonesia dalam membahas revolusi digital.
Di tengah gencarnya perkembangan teknologi, Stella pun pernah menegaskan pandangannya tentang kecerdasan buatan.
“Dari penelitian saya, kecerdasan buatan sebenarnya tidak lebih pintar dari bayi berusia dua tahun. Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir AI akan menggantikan manusia,” ucapnya, dikutip dari laman Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Karya, Penelitian, dan Penghargaan
Sebagai ilmuwan kognitif, Stella telah menghasilkan banyak karya ilmiah, di antaranya:
- Journal of Cognition and Development’s Editor’s Choice Award (2010)
- Nominasi James McDonnell Understanding Human Cognition Award (2016)
- Publikasi lebih dari 21 artikel jurnal internasional dan 2 buku akademik
- Penelitian dengan dana hibah mencapai 4,7 juta USD, termasuk dari Lego Foundation.
Selain karya ilmiah, Stella juga menggunakan media populer untuk berbagi ilmu. Ia terlibat dalam pembuatan film dokumenter “Rahasia Otak” (CCTV 9) dan film pendek UNICEF berjudul “Championing Her Future” (2024), yang menyoroti perjalanannya sebagai ilmuwan perempuan inspiratif.
Gebrakan Stella Christie dalam Dunia Pendidikan dan Riset
Stella Christie kembali menegaskan pentingnya membangun budaya ilmiah yang unggul di Indonesia dengan strategi konkret dan terukur. Menurutnya, budaya ilmiah tidak dapat tumbuh secara alami, melainkan harus diciptakan melalui usaha bersama dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
“Kompetisi dan kolaborasi adalah tulang punggung. Tanpa keduanya, kita tidak bisa mewujudkan budaya ilmiah unggul,” katanya, dikutip dari Tempo.
Untuk menciptakan kompetisi dan kolaborasi yang sehat, Stella menilai penting adanya sistem insentif, baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial. Ia menambahkan, insentif non-finansial juga berperan besar, mulai dari penyederhanaan proses administrasi hingga bantuan pengemasan riset oleh universitas.
“Peneliti adalah pihak yang paling memahami topik yang sedang diteliti. Oleh karena itu mereka tidak perlu dibebani dengan proses administrasi yang rumit. Jika diperumit, bagaimana kita sebagai peneliti bisa fokus pada penelitian?” ucap Stella.
Selain itu, Stella menekankan perlunya sistem peninjauan yang kredibel dan transparan, misalnya dengan menerapkan metode double-blind review agar peninjau maupun penulis proposal tidak mengetahui identitas masing-masing. Baginya, kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan untuk membangun ekosistem riset yang sehat.
“Kolaborasi antar-instansi pemerintah diperlukan untuk membuat sistem terkait insentif finansial maupun sistem review melalui peraturan dan undang-undang. Di sisi lain, universitas dapat berkontribusi dengan menyederhanakan proses administrasi dan membantu pengemasan hasil riset,” tutur Stella Christie.
Gebrakan Stella tidak berhenti pada dunia riset. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Menteri, ia turut meluncurkan program Sekolah Garuda, sebuah inovasi pendidikan yang memberikan beasiswa penuh bagi siswa prasejahtera berprestasi, disertai jalur berbayar bagi siswa berprestasi dari keluarga berkecukupan.
Tak hanya itu, Stella juga mendorong integrasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan pembelajaran matematika dan bahasa Inggris, sehingga anak-anak dapat belajar menghitung dan mengenal kosakata baru melalui makanan sehari-hari.
Baca Juga: Wamen Stella Pastikan Diet Ketat Anggaran Tak Berimbas Pada Postur Program Beasiswa