Nama Stella Christie belakangan ini menjadi sorotan publik, terlebih setelah diumumkan bahwa dirinya resmi dipercaya sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) dalam Kabinet Merah Putih 2024–2029 di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Sosok akademisi dan ilmuwan kognitif asal Medan, Sumatera Utara ini memang dikenal sebagai pakar di bidang Cognitive Science dan Learning Science. Ia juga merupakan guru besar di Tsinghua University, Beijing, salah satu kampus terbaik di dunia.

Pemilihan Stella Christie sebagai Wamen Dikti Saintek tentu bukan tanpa alasan. Presiden Prabowo meyakini keahliannya dapat menghadirkan metode pengajaran yang inovatif, sekaligus mendukung visi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sains, dan teknologi di Indonesia.

Dan dikutip dari berbagai sumber, Jumat (26/9/2025), berikut Olenka ulas profil singkat Stella Christie.

Kehidupan Pribadi

Stella Christie lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 11 Januari 1979. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana yang menekankan pentingnya pendidikan.

Dikutip dari Kompas, Stella menikah dengan Bartek Czech. Pasangan ini telah dikaruniai seorang putra bernama Bayu Czech.

Dan, sebagaimana diwartakan Pikiran Rakyat, Bartek Czech adalah seorang ilmuwan asal Polandia yang memiliki rekam jejak pendidikan dan karier yang mengesankan. Sebagaimana diketahui, ia adalah lulusan Harvard University, tempat di mana ia bertemu dengan Stella Christie.

Tak hanya itu, Bartek juga melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar doktor dari University of Pennsylvania. Saat ini, Bartek berkarier sebagai asisten profesor di University of Pennsylvania, sebuah posisi yang menegaskan kemampuan intelektualnya yang luar biasa.

Sebagai seorang akademisi, ia telah terlibat dalam berbagai penelitian dan aktivitas ilmiah, menjadikannya bukan orang sembarangan dalam dunia akademik.

Riwayat Pendidikan

Perjalanan pendidikan Stella Christie penuh dengan pencapaian gemilang dan kerja keras yang konsisten. Sejak kecil, ia menempuh pendidikan di SD, SMP, dan SMA Santa Ursula, Jakarta, sebelum meraih sejumlah beasiswa prestisius.

Beasiswa ASEAN dari Pemerintah Singapura serta United World College membawanya menempuh pendidikan di Red Cross Nordic United World College, Norwegia. Tahun 1999 menjadi titik penting ketika Stella berhasil meraih beasiswa penuh di Harvard University, tempat ia menamatkan pendidikan sarjananya pada 2004 dengan predikat magna cum laude with Highest Honors.

Perjalanannya berlanjut ke Northwestern University, di mana ia fokus pada psikologi kognitif hingga meraih gelar Ph.D. pada 2010. Setelah itu, Stella menjalani postdoctoral fellowship di University of British Columbia, Kanada, sebelum meniti karier akademisnya di Amerika Serikat.

Dalam wawancara di kanal YouTube Merdeka pada 18 Oktober 2024, Stella mengenang masa perjuangannya dengan jujur.

“Meskipun awalnya saya tidak suka belajar sastra dan menganggapnya sulit, saya tidak pernah berhenti berusaha. Saya belajar terus hingga akhirnya bisa lulus ujian dengan hasil yang tidak mengecewakan,” ungkapnya.

Jejak Karier Akademik

Karier akademis Stella Christie menanjak pesat setelah menyelesaikan studi doktoralnya. Ia sempat menjalani masa postdoktoral sebelum akhirnya dipercaya mengajar di Swarthmore College, Pennsylvania, Amerika Serikat, sejak 2012 hingga 2018.

Dari kampus ternama itu, Stella kemudian menerima tawaran untuk bergabung sebagai guru besar tetap di Tsinghua University, Beijing, di mana ia masih mengabdi hingga kini.

Di universitas papan atas Tiongkok tersebut, Stella menjabat sebagai Research Chair di Tsinghua Laboratory of Brain and Intelligence sekaligus Direktur Child Cognition Center.

Selain itu, pengalamannya juga semakin kaya ketika ia menjadi peneliti tamu di Stanford University pada periode 2015–2016. Bagi Stella, karier sebagai ilmuwan bukan hanya sekadar gelar atau posisi akademik, melainkan sebuah panggilan yang lahir dari kecintaan pada pengetahuan.

“Ilmuwan bukanlah profesor linglung yang hanya memelototi mikroskop. Bagi saya, ilmuwan adalah seseorang yang jatuh cinta pada pekerjaannya,” ujarnya, dikutip dari Indonesia Mengglobal.

Baca Juga: Stella Christie: Pentingnya Kesadaran Etika dalam Penggunaan AI

Kiprah dan Kontribusi

Stella Christie aktif berkiprah tidak hanya di ranah akademis internasional, tetapi juga memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan pendidikan dan sains di Indonesia.

Ia pernah menjadi pembicara dalam acara Kemendikbudristek tahun 2020 yang membahas “Creating Ecosystem for Creativity in Higher Education”, sekaligus menuliskan kata pengantar untuk buku “Kumpulan Esai tentang Memupuk Kreativitas di Indonesia”.

Keterlibatannya juga meluas sebagai penasihat kebijakan, mulai dari isu pendidikan di era kecerdasan buatan bersama Dinas Pendidikan DKI Jakarta, hingga medical AI bersama Kementerian Kesehatan, serta menjadi narasumber bagi Bank Indonesia dalam membahas revolusi digital.

Di tengah gencarnya perkembangan teknologi, Stella pun pernah menegaskan pandangannya tentang kecerdasan buatan.

“Dari penelitian saya, kecerdasan buatan sebenarnya tidak lebih pintar dari bayi berusia dua tahun. Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir AI akan menggantikan manusia,” ucapnya, dikutip dari laman Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Karya, Penelitian, dan Penghargaan

Sebagai ilmuwan kognitif, Stella telah menghasilkan banyak karya ilmiah, di antaranya:

  • Journal of Cognition and Development’s Editor’s Choice Award (2010)
  • Nominasi James McDonnell Understanding Human Cognition Award (2016)
  • Publikasi lebih dari 21 artikel jurnal internasional dan 2 buku akademik
  • Penelitian dengan dana hibah mencapai 4,7 juta USD, termasuk dari Lego Foundation. 

Selain karya ilmiah, Stella juga menggunakan media populer untuk berbagi ilmu. Ia terlibat dalam pembuatan film dokumenter “Rahasia Otak” (CCTV 9) dan film pendek UNICEF berjudul “Championing Her Future” (2024), yang menyoroti perjalanannya sebagai ilmuwan perempuan inspiratif.

Gebrakan Stella Christie dalam Dunia Pendidikan dan Riset

Stella Christie kembali menegaskan pentingnya membangun budaya ilmiah yang unggul di Indonesia dengan strategi konkret dan terukur. Menurutnya, budaya ilmiah tidak dapat tumbuh secara alami, melainkan harus diciptakan melalui usaha bersama dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

“Kompetisi dan kolaborasi adalah tulang punggung. Tanpa keduanya, kita tidak bisa mewujudkan budaya ilmiah unggul,” katanya, dikutip dari Tempo.

Untuk menciptakan kompetisi dan kolaborasi yang sehat, Stella menilai penting adanya sistem insentif, baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial. Ia menambahkan, insentif non-finansial juga berperan besar, mulai dari penyederhanaan proses administrasi hingga bantuan pengemasan riset oleh universitas.

“Peneliti adalah pihak yang paling memahami topik yang sedang diteliti. Oleh karena itu mereka tidak perlu dibebani dengan proses administrasi yang rumit. Jika diperumit, bagaimana kita sebagai peneliti bisa fokus pada penelitian?” ucap Stella.

Selain itu, Stella menekankan perlunya sistem peninjauan yang kredibel dan transparan, misalnya dengan menerapkan metode double-blind review agar peninjau maupun penulis proposal tidak mengetahui identitas masing-masing. Baginya, kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan untuk membangun ekosistem riset yang sehat.

“Kolaborasi antar-instansi pemerintah diperlukan untuk membuat sistem terkait insentif finansial maupun sistem review melalui peraturan dan undang-undang. Di sisi lain, universitas dapat berkontribusi dengan menyederhanakan proses administrasi dan membantu pengemasan hasil riset,” tutur Stella Christie.

Gebrakan Stella tidak berhenti pada dunia riset. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Menteri, ia turut meluncurkan program Sekolah Garuda, sebuah inovasi pendidikan yang memberikan beasiswa penuh bagi siswa prasejahtera berprestasi, disertai jalur berbayar bagi siswa berprestasi dari keluarga berkecukupan.

Tak hanya itu, Stella juga mendorong integrasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan pembelajaran matematika dan bahasa Inggris, sehingga anak-anak dapat belajar menghitung dan mengenal kosakata baru melalui makanan sehari-hari.

Baca Juga: Wamen Stella Pastikan Diet Ketat Anggaran Tak Berimbas Pada Postur Program Beasiswa