Siapa yang tak kenal Asma Nadia? Dia merupakan salah satu penulis paling produktif di Indonesia. Perempuan kelahiran 26 Maret 1972 ini telah menulis lebih dari 88 judul buku dengan 14 di antaranya sudah diangkat ke layar lebar dan 7 judul disinetronkan. Baginya, prestasi yang telah diraih merupakan hasil dari kemampuan literasi yang dimilikinya.

Asma bercerita, dahulu dia hanyalah gadis kecil yang tinggal di tepi rel kereta api, di daerah Gunung Sahari. Letak tempat tinggalnya dengan rel kereta hanya berjarak 1,5 m. Bahkan, dia dan kakaknya tak punya cukup uang untuk membeli buku.

Baca Juga: Budaya Literasi dan Kemajuan Bangsa, Apa Hubungannya?

"Kami tidak bisa membaca buku karena tidak punya uang. Kami membaca dari memburu kertas-kertas bungkus cabai dan bawang yang dibawa ibu kami dari pasar. Itulah buku-buku pertama kami," kenang Asma tentang masa kecilnya bersama sang kakak, Helvy Tiana Rosa, yang juga menjadi penulis.

Menurut Asma Nadia, ada dua faktor terbesar yang membawa perubahan besar bagi dirinya, yakni ibu dan buku. "Kalau boleh saya melakukan kilas balik, apa yang diraih oleh Asma Nadia, Helvi Tiana Rosa, merupakan hasil dari pertolongan Allah. Saya selalu berucap, pertolongan Allah kepada kami muncul dalam dua bentuk: pertama adalah ibu, sosok yang luar biasa membangun semangat budaya literasi di rumah, dan buku," terangnya dalam peluncuran buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi di Perpusnas, yang diikuti secara daring, Selasa (19/3/2024).

Oleh karena itu, Asma merespons positif peluncuran buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi yang ditulis oleh Abdul Fikri Faqih. Dia yakin banyak sosok yang tertolong oleh buku sehingga dia mengajak seluruh pihak terkait memastikan kedaruratan literasi di Indonesia dapat diatasi.

Sementara itu, Abdul Fikri Fakih selaku penulis buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi menerangkan bahwa buku tersebut lahir dari hasil rapat dan diskusi Panja (Panitia Kerja) di DPR RI tentang peningkatan literasi dan tenaga keperpustakaan.

"Kami merangkum sejumlah kondisi literasi di Indonesia, misal hasil PISA tahun 2022 yang menunjukkan Indonesia ada di peringkat 74 dari 79 negara; tutupnya banyak toko buku; kurangnya tenaga perpustakaan/pustakawan; dan lain sebagainya. Kami juga menyampaikan sejumlah usulan solusi yang didapat dari berbagai narasumber," jelas Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu.

Hadirnya buku itu, terang Abdul Fikri, diharapkan mampu mendorong sinergi yang lebih kuat antara lembaga pemerintahan demi mengatasi kondisi kedaruratan literasi di Indonesia.