Praktik penagihan pinjaman online (pinjol) yang melanggar etika semakin meresahkan masyarakat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2025 menunjukkan terdapat 1.676 pengaduan terkait perilaku penagihan yang terindikasi pelanggaran, dan sebanyak 1.106 di antaranya berasal dari sektor fintech lending.

Kasus-kasus tersebut umumnya melibatkan penyebaran data pribadi, intimidasi, hingga penagihan kepada kontak darurat, sebuah praktik yang jelas dilarang oleh regulasi.

Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, pinjol atau kini disebut pindar (pinjaman daring yang semula diharapkan menjadi solusi justru menjebak banyak orang dalam krisis finansial dan psikologis.

Meskipun inflasi nasional tercatat terkendali, di lapangan masyarakat menghadapi kenyataan sulit seperti bunga pinjaman yang tinggi, denda keterlambatan yang mencekik, hingga ancaman dan pelecehan verbal dari penagih utang.

Tak sedikit korban yang mengalami depresi, gangguan tidur, perceraian, bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupnya akibat tekanan yang mereka hadapi.

Riset menyebut risiko bunuh diri dapat meningkat hingga delapan kali lipat pada individu yang terlilit utang, menunjukkan bahwa masalah pinjol bukan sekadar urusan keuangan, melainkan krisis kesehatan publik dan sosial yang mendesak untuk ditangani.

Bagi perempuan, ancaman pinjol semakin menakutkan karena praktik penagihan kerap disertai kekerasan berbasis gender di ranah siber, mulai dari pelecehan seksual hingga pengancaman.

Situasi ini menegaskan bahwa krisis pinjol bukan hanya soal utang, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia yang mengancam martabat dan keselamatan warga negara.

Hak Konsumen Pinjol

Pada dasarnya, peminjam memiliki hak-hak fundamental yang diatur dalam regulasi OJK, di antaranya hak atas informasi transparan mengenai bunga, biaya, dan syarat pinjaman; hak untuk diperlakukan adil tanpa diskriminasi; hak atas perlindungan data pribadi yang dijaga kerahasiaannya; serta hak untuk tidak diintimidasi atau diancam oleh penagih.

Etika Penagihan Utang: Apa Batasannya?

Penagihan hanya boleh dilakukan pada pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat, dan dilarang menggunakan kata-kata kasar, pelecehan seksual, maupun penghinaan yang merendahkan suku, agama, ras, antargolongan, harga diri, dan martabat manusia.

Sayangnya, meski sudah diatur dengan jelas dalam regulasi seperti POJK 77/2016, POJK 10/2022, dan SEOJK 19/2023, praktik di lapangan masih jauh dari ideal.

Penyebaran data pribadi peminjam ke publik, penagihan dengan nada mengancam, dan teror kepada kontak darurat menjadi senjata utama bagi penagih untuk menekan korban agar segera melunasi utang mereka. Padahal, tindakan seperti itu melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat menjerat pelaku dengan pidana penjara hingga empat tahun dan denda hingga Rp10 miliar.

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga menegaskan bahwa penyalahgunaan data pribadi tanpa persetujuan merupakan pelanggaran serius.

Selain itu, regulasi fintech lending melarang penagihan kepada pihak selain peminjam. Kontak darurat hanya boleh dihubungi untuk konfirmasi keberadaan, bukan untuk menagih utang.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak debt collector yang menagih ke rekan kerja, atasan, keluarga, atau teman di media sosial, yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak reputasi dan kesehatan mental korban.

Baca Juga: Untuk Lindungi Rakyat, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pinjol

Konsekuensi Gagal Bayar: Apa Saja Dampaknya?

Dampak gagal bayar pinjol memang nyata. Mulai 31 Juli 2025, semua pinjol legal wajib melaporkan data peminjam ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.

Catatan kredit buruk akan menyulitkan seseorang memperoleh akses pembiayaan lain di masa depan. Namun, konsekuensi finansial tersebut tidak pernah menjadi pembenaran untuk tindakan intimidasi, penghinaan, atau penyebaran data pribadi. Peminjam tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat, apapun kondisi finansial mereka.

Negara Wajib Hadir: Rekomendasi Kebijakan

Negara sendiri memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari praktik penagihan yang melanggar hukum dan etika. Meskipun regulasi telah dibuat, tantangan terbesar adalah penegakan di lapangan.

Kasus-kasus intimidasi dan penyalahgunaan data oleh pinjol ilegal semakin menegaskan perlunya pengawasan yang lebih tegas dan sanksi yang lebih berat, termasuk pencabutan izin usaha bagi pelaku pelanggaran.

Sejak 2018, OJK telah menutup lebih dari 4.265 aplikasi pinjol ilegal, menunjukkan betapa masifnya persoalan ini. Namun, penutupan aplikasi saja tidak cukup tanpa penegakan hukum kepada para pelaku di balik layar yang kerap terhubung dengan jaringan mafia internasional.

Selain penindakan hukum, edukasi literasi keuangan kepada masyarakat menjadi penting untuk menghindarkan mereka dari jebakan pinjol ilegal.

Masyarakat perlu memahami bahwa gagal bayar memang berdampak, tetapi tidak satu pun pihak penagih memiliki hak untuk mengintimidasi atau mempermalukan mereka. Negara juga perlu menyediakan dukungan psikologis bagi korban agar krisis finansial tidak berkembang menjadi tragedi kemanusiaan.

Perlindungan konsumen tidak cukup hanya dengan regulasi di atas kertas, melainkan harus diimplementasikan dengan pengawasan ketat, penegakan hukum yang adil, dan kebijakan komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Hanya dengan cara itu hak dan martabat setiap warga negara dapat dijaga, serta Indonesia mampu menciptakan ekosistem pinjaman online yang sehat, adil, dan manusiawi.

Baca Juga: Mayoritas Pemain Judi Online Terjerat Pinjol