Filosofi Nama Baru Tahir
Seperti diketahui, Tahir bersama orang tuanya tinggal di sebuah bangunan bekas markas pertahanan pejuang lokal, di Jl. Bunguran No 19 Surabaya. Mereka berbagi rumah tersebut bersama 2 keluarga sahabat sang ayah, yakni Tan Boen Tjoe dan Lie.
“Dua keluarga tinggal di rumah yang sama. Di situasi ini kemudian menyebabkan insiden emosional,” papar Tahir.
Hingga suatu saat, di penghujung tahun 1960-an, Tahir mendengar perbincangan orang tuanya terkait rencananya membeli rumah. Ia pun senang mendengar rencana tersebut. Menurutnya, memiliki rumah sendiri berarti status mereka pun jelas, tidak harus berbagi dengan keluarga lain.
Selain itu, rumah yang orang tua Tahir tinggali sebelum Tahir lahir pun kerap memantik masalah, karena berulang kali asosiasi pengusaha Bond Betjak mengklaim bangunan tersebut sebagai milik mereka.
“Hal tersebut membuat kami sangat gelisah. Saya tidak tahu kapan orang tua saya akan membeli rumah baru atau dimanapun rumah baru itu akan dibangun. Yang saya ingat dengan baik adalah saya semakin sibuk melakukan pekerjaan trading saya,” tutur Tahir.
Tahir mengatakan, di rumah di Jl. Bunguran No 19 Surabaya itu, ia tumbuh menjadi seorang pedagang. Keluarganya pun telah menempuh perjalanan jauh sejak bertahun-tahun berinteraksi dengan tukang becak. Tak ada lagi tawuran antara sang ibu, Lie Tjien Lien, dengan tukang becak yang berujung pelemparan batu.
“Kami telah sampai pada kehidupan yang mapan dan damai di tempat yang memberi kamu kemakmuran,” ujar Tahir.
Sejak saat itu, kata dia, nama Tionghoanya berubah menjadi Tahir. Sesederhana itu, hanya satu kata.
“Saya sangat menyukainya karena mudah diingat dan tidak rumit. Meski awalnya canggung, orang tua saya berusaha membiasakan memanggil dengan nama Tahir,” aku Tahir.
Tahir mengatakan, terkait pergantian namanya sendiri sebenarnya banyak orang Tionghoa mengubah nama mereka di berbagai belahan dunia sekitar tahun 1960-an. Hal ini menurutnya tantangan tersendiri, karena hal itu membuatnya harus mengingat nama-nama baru dari orang-orang yang sudah ia kenal cukup lama.
Lebih lanjut, ia pun menceritakan makna di balik sang ayah memberi nama Tahir. Saat itu, kata Tahir, sang ayah memanggilnya dan mengatakan bahwa ia akan memberitahukan tentang arti nama yang diberikan.
“Sekarang kamu punya nama baru. Nama ini akan melekat padamu seumur hidupnya. Itu nama khas Indonesia,” ujar Tahir menirukan ucapan sang ayah kala itu.
Saat itu, Tahir mengaku ia menatap sang ayah dan tak yakin dengan arah ucapannya. Namun, menurut sang ayah, nama Tahir yang diberikannya memiliki arti bahwa saat ini dia adalah benar-benar orang Indonesia.
“Dengan nama baru ini, artinya kamu benar-benar orang Indonesia. Bahkan dari sebelum aku bersumpah untuk menghabiskan hidupku di negeri ini, aku sudah menjadi orang Indonesia sepenuhnya tanpa keraguan. Memang keluargaku ada di Fujian, dan aku masih bicara dengan Bahasa Mandarin dengan ibumu. Tapi, aku mencintai negara ini dan aku bersedia memberikan hidupku untuk tanah ini,” paparTahir menirukan kalimat yang diucapkan ayahnya dulu.
Saat ayahnya mengucapkan kalimat itu, kata Tahir, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Menurutnya, sang ayah pun memintanya agar nama baru Tahir menjadi monumen dan simbol menjadi warga negara Indonesia sejati.
“Saat itu papah bilang, saya harus jadi orang Indonesia seutuhnya, gak setengah-tengah. “kamu lahir di sini, kamu besar di sini, dan suatu saat nanti kalau kamu sukses kamu akan tahu dengan siapa sebaiknya kamu membagi rezekimu dengan Indonesia’,” jelas Tahir mengulang perkataan ayahnya saat itu.
Setelah mendengar perkataan ayahnya itu, Tahir menarik napas dalam-dalam. Ia pun mengaku terpesona dengan pikiran sang ayah yang mendalam.
“Papah bilang juga, kita tidak hanya mencari uang dan nafkah di sini, tapi kita juga harus mengakar di sini. Saya pun mengangguk mendengar ucapan papah itu,” tutur Tahir.
Lebih lanjut, Tahir mengatakan jika sang ayah juga berkata bahwa Indonesia telah berbaik hati memberikan keluarganya kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya sang ayah pun ingin Tahir jangan menganggap dirinya orang Cina. Namun, sang ayah ingin Tahir menganggap dirinya sebagai orang Indonesia.
“Anggaplah dirimu orang Indonesia sebagaimana adanya hatimu di sini dan di tempat lain. Tanah inilah yang telah memberimu kesempatan untuk bertahan hidup,” begitu pesan sang ayah kepada Tahir.
Dikatakan Tahir, dialog yang mengesankan antara ayahnya dan dirinya itu terus menerus diingatnya sepanjang hidupnya.
“Saya lahir di sini, besar di sini, dan akan berakhir di sini. Di sela-sela itu saya juga akan berbagi kehidupan saya di sini (Indonesia),” ujar Tahir.
Tahir juga bilang, dialog dengan ayahnya tersebut menjadi salah satu faktor yang menjadi akar pandangannya mengenai perjuangan dirinya dalam membangun bisnis.
“Nama Cina saya Ang Tjoen Ming, mata saya sipit, dan kulit putih saya adalah unsur-unsur yang Tuhan berikan kepada orang-orang oriental. Namun, hati yang tidak berwujud fisik adalah sumber sesuatu yang lebih berprinsip dalam menentukan pikiran seseorang. Saya orang Indonesia luar dalam,” tegas Tahir.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Mengurus Kebun Binatang Ragunan