Dato Sri Tahir, namanya tersohor sebagai konglomerat yang gemar beramal. Perjalanan pendiri Mayapada Group ini sebagai konglomerat di Indonesia begitu panjang dan penuh lika-liku.
Namun, jauh sebelum dirinya sukses dan menjelma jadi orang terkaya ke-7 di Indonesia yang mengantongi harta kekayaan hingga $5,2 miliar (Rp84,34 triliun), siapa sangka ternyata Tahir mengalami masa kecil yang cukup menyedihkan.
Pria yang memiliki nama asli Ang Tjoen Ming yang lahir di Surabaya, 26 Maret 1952 ini merupakan anak dari pasangan Ang Boen Ing dan Lie Tjien Lien. Orang tua Tahir bisa disebut sebagai orang yang kurang mampu.
Dulu, orang tuanya hanyalah seorang juragan yang menyewakan becak. Tahir mengakui sendiri, dulu ia bisa hidup berkat setoran-setoran tukang becak.
Sejak usia 10 Tahun, Tahir sudah diajarkan berdagang oleh ayahnya untuk berjualan gantungan cangkir dan menjajakannya di sekitar daerah Solo. Meski hidup dalam keterbatasan, Tahir mengaku, ia pun mendapatkan pembelajaran berharga tentang kejujuran, kerja keras, dan berbagi tanpa pamrih dari kedua orang tuanya sejak kecil.
Namun, di tengah perjuangannya menuju kesuksesan, Tahir dihadapkan dengan takdir Tuhan. Sang ayah, Ang Boen Ing, yang disebutnya mentor hidupnya, meninggal dunia. Melalui pena Alberthiene Endah, suami Rosy Riady ini pun menceritakan kisah meninggalnya sang ayah akibat penyakit stroke yang dideritanya selama beberapa tahun.
Dalam buku tersebut pula, Tahir pun mengisahkan pengabdian dirinya untuk sang ayah, sebelum jelang ajal menjemput ‘guru kehidupannya’ itu. Berikut Olenka ulas kisah selengkapnya.
Baca Juga: Filosofi Kehidupan Dato Sri Tahir: Bangun Kekuatan dari Dalam Diri Sendiri, Berjuanglah untuk Itu!
Mendapat Kabar Duka saat di Eropa
Di tengah keasyikan Tahir mempersiapkan usaha baru pada pertengahan tahun 1980, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah kabar duka dari keluarganya. Ayah Tahir, Ang Boen Ing, terkena stroke. Dan saat itu, Tahir sendiri sedang berada di Eropa, sementara sang ibu sedang berada di Hong Kong.
“Saat itu Rosy menelepon saya dari Jakarta. Dia bilang kondisi papah sudah kritis dan menyuruh saya pulang. Saya tidak pernah mendengar suara Rosy panik seperti itu. Saat itu, Rosy pun segera terbang ke Surabaya untuk melihat kondisi papah,” ujar Tahir.
Selang menerima kabar buruk tentang sang ayah, Tahir pun mengaku khawatir bukan main. Jantungnya berdegup kencang. Ia pun merasakan firasat buruk tentang ayahnya saat itu. Terlebih saat itu, sang ibu pun meneleponnya dengan sangat panik.
“Papah sering mengeluh merasa tidak sehat, namun ia tidak pernah pingsan. Firasat saya buruk saat itu,” tukas Tahir.
Tak buang-buang waktu, saat itu Tahir pun langsung bersiap pulang ke Jakarta. Ia pun berusaha kerasa untuk tak gelisah sepanjang perjalanan pulang.
“Saya benar-benar panik, sepanjang perjalanan di pesawat saya membayangkan kondisi papah. Saya dengar dia koma. Saya hampir tak bisa menerima kenyataan ini. Selama perjalanan pun saya berusaha menahan tangis,” ujar Tahir.
Tahir lantas mengatakan, tak ada yang lebih menakutkan baginya selain melihat orang-orang yang ia sayangi jatuh sakit dan tidak berdaya. Terlebih katanya, saat itu ia tersadar bahwa betapa sedikitnya waktu yang ia berikan untuk sang ayah.
“Saya terlampau sibuk, sampai-sampai saya tidak ada waktu untuk papah. Sudah cukup lama sejak terakhir kali saya bicara dengan papah. Dia adalah guru kebijaksanaan saya dalam hidup,” tutur Tahir.
Tahir menuturkan, sang ibu pernah bercerita kepadanya beberapa waktu lalu bahwa sang ayah sudah tidak sehat lagi. Sebelum terkena stroke, ayah Tahir sudah beberapa kali keluar masuk RS. Lagi-lagi, Tahir pun merasa menyesal karena tak bisa menyempatkan waktu menjenguk ayahnya secara rutin di Surabaya.
“Jujur, saya dicekam ketakutan yang luar biasa. Sepanjang hidup saya, saya belum pernah melihat orang yang saya cintai dalam kondisi yang benar-benar serius,” tukas Tahir.
Baca Juga: Kisah ‘Dramatis’ Dato Sri Tahir Jadi Agen Tunggal Duralex
Vonis Dokter dan Keajaiban Tuhan
Sesampainya di Surabaya, di tengah kekalutannya melihat kondisi sang ayah tercinta, Tahir mengaku sangat tersentuh dengan apa dilakukan istrinya kepada sang ayah saat itu.
Ya, Rosy tak segan mendampingi ayah Tahir itu setiap waktu, bahkan ia tak segan memandikan mertuanya dan mengurusnya buang air di tempat tidur. Dan belakangan, Tahir pun mendengar dari perawat bahwa Rosy juga kerap melakukan banyak hal.
“Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Putri Mochtar Riady melakukan pekerjaan kotor seperti itu untuk ayah saya, bahkan hingga memakaikan celana dalamnya. Jujur, saya sangat tersentuh,” ujar Tahir.
Terlepas dari itu, Tahir pun juga tak percaya dengan kondisi ayahnya. Sang ayah saat itu dalam keadaan koma dan kondisinya jauh lebih serius dari yang ia kira. Ayah Tahir lumpuh dan sama sekali tidak berdaya. Stroke yang dideritanya begitu parah sehingga dokter mengatakan bahwa itu adalah kondisi terburuk yang dialami pasien stroke.
“Saat itu Profesor Benyamin Tjandra, dokter spesialis yang merawat papah bilang jika sangat kecil kemungkinan untuk papah bisa bertahan hidup. Pendarahan otaknya sangat serius, dan mungkin akan bertahan hingga sore,” tutur Tahir.
Mendengar perkataan dokter saat itu, Tahir pun shock bukan main. Lidahnya kaku, tenggorokannya pun seperti tersumbat duri-duri. Ia sama sekali tak bisa berkata-kata.
“Sungguh menyedihkan mendengar vonis dokter seperti itu. Rasanya seperti ditampar berulang hingga saya kehilangan kemampuan untuk bicara. Papah haya akan bertahan hidup sampai sore,” papar Tahir.
Tahir mengaku, saat itu ia benar-benar hancur. Kesedihan dan keterkejutan yang luar biasa bercampur menjadi satu. Saat itu pula, akhirnya ia meminta untuk dibiarkan berdua dengan sang ayah di bangsal ICU. Semua orang di sana, termasuk sang istri, meninggalkan ruangan.
Sang ayah terbujur kaku seraya berbalut selang medis. Tak ada suara lain yang terdengar oleh Tahir selain desisan AC dan napas ayahnya yang tak beraturan. Tahir pun berpikir, jika vonis dokter benar adanya, sisa waktu dirinya untuk bersama sang ayah pun kian menipis.
Dan, seakan-akan tak mau kehilangan momen terakhirnya dengan sang ayah, Tahir pun lantas mengungkapkan rasa cintanya kepada lelaki yang telah menghabiskan hidupnya berjuang demi keluarga itu.
Ingatan Tahir pun membawanya kembali ke masa di mana sang ayah menggandeng tangan ibunya sambil membawa payung di tengah hujan, menunggu di pinggir jalan untuk menghentikan becaknya dan menagih uang sewa.
Ingatannya, lanjut Tahir, membawanya pula ke momen mengharukan di mana sang ayah pernah mengajaknya menonton pertandingan tenis meja dunia di Surabaya.
“Dada saya berat. Papah adalah ayah yang sangat baik. Saya menangis, waktu untuk bersama papah tinggal sebentar lagi. Betapa saya ingin berkomunikasi dengannya. Saya perlu meminta maaf, mengungkapkan rasa cinta saya ke papah. Betapa saya ingin mengatakan kepada dirinya, bahwa ia telah membentuk kekuatan mental saya,” ungkap Tahir.
Lebih lanjut, dalam kesedihan yang amat dalam, Tahir pun mengangkat wajahnya. Dari suatu tempat yang tak diketahui, kata Tahir, muncul dorongan dalam dirinya untuk berdoa dalam bisikan.
Ia pun meminta kepada Tuhan agar jangan membiarkan ayahnya ‘pergi’. Alasannya, kata Tahir, karena selama ini ia belum menunjukkan baktinya kepada sang ayah. Jujur, ujar Tahir, saat itu dirinya tak siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada sang ayah tercinta.
Sore harinya, paramedis pun terus memantau kondisi ayah Tahir. Saat itu, kata Tahir, sang ayah belum menunjukkan tanda-tanda akan berpulang. Napasnya masih teratur. Dan sebuah keajaiban pun datang, tiba-tiba sang ayah pun kembali sadar dan menatap Tahir. Bibirnya bergerak meski tak ada sepatah katapun yang terlontar.
“Saat itu dokter memintaku untuk tenang dan tidak terlalu bersemangat. Biar bagaimana pun, kondisi papah saat itu masih kritis. Perubahan ekstrem apa pun bisa saja terjadi. Saya berusaha mengendalikan diri, namun saya juga diliputi harapan besar saat itu,” terang Tahir.
Tak berapa lama, ibu Tahir pun telah sampai di RS. Saat itu, kata Tahir, sang ibu menangis sejadi-jadinya. Tahir pun menceritakan bahwa ia akan membawa ayahnya ke Jakarta jika kondisinya memungkinkan.
Sang ayah akan dibawanya ke RS yang lebih layak agar ia dapat mengunjunginya dengan mudah. Jika kondisi sang ayah pun membaik, Tahir berencana untuk membawanya ke rumah, untuk tinggal bersamanya.
Baca Juga: Cerita Kencan Pertama Dato Sri Tahir dan Rosy Riady: Momen yang Penuh Kekakuan, Namun Membahagiakan
Pengabdian Luar Biasa Tahir kepada Sang Ayah
Setelah beberapa minggu kondisi ayah Tahir pun berangsur membaik. Namun, ia masih lumpuh, tidak bisa bergerak, dan tak bisa berkomunikasi sama sekali. Tahir bilang, saat itu ia hanya bisa berkomunikasi dengan ayahnya lewat mata.
Saat itu, Tahir sendiri mengirim ayahnya untuk dirawat di RS Petro Pusat di daerah Kebayoran baru. Ia pun mengatur shift dengan 2 saudara perempuannya dan ibunya untuk merawat ayahnya.
“Setelah kondisi papah membaik, saya pun mengatur jam kerja saya lebih efektif dan efisien. Setelah bekerja, saya akan pergi menemui papah di RS,” ujar Tahir.
Dikatakan Tahir, ada satu hal penting di antara banyak hal yang ia lakukan untuk ayahnya selama waktu itu. Salah satunya seperti memotong kukunya dengan sangat pendek dan tanpa mengenakan sarung tangan, Tahir pun memasukkan jarinya ke dalam anus ayahnya untuk merangsang usus ayahnya agar bisa buang air besar.
“Saya melakukannya untuk membebaskannya dari tekanan yang tidak nyaman di perutnya. Saat itu raut muka papah tampak menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Matanya menyipit dan seolah berkata, ‘Kamu seharusnya tidak melakukan ini, Tahir’,” terang Tahir.
Tahir bilang, saat melakukan hal tersebut, ia pun dihadapkan dengan masalah, yakni jari yang ia gunakan untuk membantu sang ayah buang air besar kerap berbau tak sedap meski ia berulang kali mencucinya dengan sabun dan air hangat. Akhirnya ia pun menemukan solusi untuk masalah tersebut dengan berenang. Setelah berenang selama 5 menit, ia akhirnya berhasil menghilangkan bau di jarinya itu.
“Itu adalah saat-saat terbaik yang pernah saya alami bersama papah sepanjang hidup saya. Saya rawat dia dengan sabar, saya jaga, saya mandikan, sambil saya pandangi papah dengan doa yang terucap di hati,” sambung Tahir.
Tahir mengatakan, selama dirinya merawat sang ayah, sesuatu yang ajaib mengalir dalam dirinya. Ia seperti mendengar dia sepanjang waktu saat bekerja. Energinya seperti tersalurkan. Ia pun terus mengucapkan janji dalam hati kepada sang ayah bahwa ia akan bertanggung jawab atas Ibu dan saudara-saudara perempuannya.
“Saya akan berjuang sekuat tenaga demi martabat keluarga seperti yang diajarkan papah. Kerja keras saya didorong oleh citra papah,” tukas Tahir.
“Saya Menikmati Melayani Papah di Saat Terakhirnya”
Selang 3 tahun dari vonis yang dikatakan dokter kala itu, ayah Tahir pun meninggal. Tepatnya pada bulan juni 1983. Meski sedih, Tahir bersyukur atas kesempatan luar biasa yang diberikan Tuhan kepadanya untuk mengabdikan diri kepada sang ayah.
Dikatakan Tahir, 3 tahun merawat ayahnya adalah saat-saat yang sangat istimewa dalam hidupnya. Ia pun jadi memiliki kedekatan special dengan sang ayah.
“Saya menikmati melayani papah dengan kasih sayang yang melimpah. Saya menyadari bahwa tuhan memberi saya waktu yang berharga untuk menghujaninya dengan cinta dan perhatian di tahun-tahun terakhirnya,” papar Tahir.
Ketika sang ayah meninggal, Tahir pun mengaku tak menyesal. Sang ayah sendiri dimakamkan di Makam Kembang Kuning yang terletak di pusat kota Surabaya. Makamnya sendiri sudah seperti rumah bagi Tahir.
Di sanalah ia tak segan melampiaskan kerinduannya kepada sang ayah. Setiap kali ke Surabaya, Tahir pun pasti berziarah ke makam sang ayah sebelum berangkat ke bandara untuk pulang ke Jakarta.
“Itu adalah suatu keharusan bagi saya. Jadi, jika saya ke Surabaya 20 kali dalam setahun, maka saya akan berziarah 10 kali juga. Rutinitas ini masih saya lakukan hingga sekarang,” tukas Tahir.
Tahir juga lantas mengatakan, meninggalnya sang ayah juga membuatnya lebih keras lagi dalam bekerja. Sebabnya, di tangannya kini terletak tanggung jawab atas kesejahteraan sang ibu, 2 saudara perempuan, sang istri, dan juga anak-anaknya.
“Saya juga bertanggung jawab atas saudara ipar saya dan keponakan-keponakan saya. Hidup mereka adalah tanggung jawab saya,” tandas Tahir.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Masuk Keluarga Konglomerat Mochtar Riady