Kelapa sawit kini menjadi komoditas primadona di dunia dan bernilai strategis bagi perekonomian nasional. Indonesia sendiri memiliki lahan kebun sawit seluas 15,34 juta hektare dengan total kapasitas produksi 46,8 juta ton minyak sawit per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia. 

Dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengatakan bahwa sebanyak 40,5% lahan sawit atau sekitar 6,2 juta hektare dimiliki dan dikelola oleh Petani Rakyat. 

“Indonesia punya 15,34 juta hektare kebun sawit. Dan 40,5%-nya adalah milik petani. Artinya ada 6,2 juta hektare itu milik petani. Dan kita ingin nilai tambah itu ada di dalam negeri,” tutur Presiden Jokowi.

Terkait hal itu, Presiden Jokowi pun meminta para pemangku kepentingan untuk segera mendorong hilirisasi dan industrialisasi dari komoditas hasil kelapa sawit. 

Hilirisasi sendiri merupakan upaya untuk mengolah bahan baku atau komoditas menjadi produk bernilai tambah tinggi. Alhasil, komoditas tidak lagi dijual sebatas bahan mentah, namun bisa menjadi produk setengah jadi ataupun produk jadi yang menghasilkan nilai tambah tinggi. 

Melalui hilirisasi, komoditas dalam negeri diolah menjadi produk bernilai jual lebih tinggi dan berorientasi ekspor sehingga dapat memberikan pendapatan lebih tinggi bagi perekonomian Indonesia.

Lantas, sejauh mana perkembangan hilirisasi sawit saat ini?

Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi), Darmono Taniwiryono, menuturkan bahwa sejauh ini hilirisasi sawit sudah mencatat kemajuan yang besar. 

Menurutnya, variasi produk sawit makin beragam sehingga menghasilkan peningkatan nilai ekonomi produk itu. Adapun, kata Darmono, hilirisasi yang sudah berjalan dengan baik saat ini adalah hilirisasi dari produk turunan minyak kelapa sawit mentah atau yang lebih dikenal dengan istilah CPO (Crude Palm Oil).

Sebagai informasi, minyak kelapa sawit mentah atau CPO dikenal sebagai bahan baku utama untuk produksi bahan pangan dan domestik. Adapun, contoh produk turunannya antara lain yaitu minyak goreng dan mentega. 

“Hilirisasi yang sudah berjalan dengan baik saat ini adalah hilirisasi dari produk turunan CPO. Padahal kalau kita melihat sawit secara keseluruhan itu yang dihasilkan dari kebun sawit itu tidak hanya CPO. Tetapi biomassanya lebih banyak daripada CPO itu sendiri,” tutur Darmono, saat berbincang dengan Olenka, baru-baru ini.

“Jadi kalau kita melihat dari kedua sumber tersebut ini potensi untuk hilirisasi itu sangat luas. Sangat menantang kita untuk kita segera tingkatkan kemampuan kita dalam hal bidang hilirisasi sawit ini,” timbal Darmono.

Darmono mengatakan, hilirisasi dari CPO sendiri saat ini sudah berkembang pesat dan utamanya dilakukan oleh industri besar. Namun kini, kata dia, ada juga industri yang baru saja ditemukan dan maju pesat, yakni hilirisasi dalam bidang energi.

“Jadi saat ini ada juga industri yang baru saja ditemukan dan maju pesat, yakni hilirisasi dalam bidang energi. Kita tahu ditemukannya bioavtur yang bisa diproduksi dari sawit, kemudian bensin yang bisa juga diproduksi dari sawit. Ini merupakan kemajuan-kemajuan dalam bidang industri hilirisasi sawit yang sangat pesat itu di sana, di bidang energi, berdasarkan biohidrokarbon,” terang Darmono.

Baca Juga: Dukungan Dato Sri Tahir Jadikan Kelapa Sawit Komoditas Ekspor Utama dari Indonesia

Lebih lanjut, Darmono pun memaparkan soal hilirisasi industri sawit berbasis agro atau pangan. Darmono membeberkan bahwa ada varian pengolahan minyak sawit yang bisa menjadi salah satu opsi bagi pelaku UMKM sawit. Menurutnya, minyak sawit harus diolah dengan benar agar sumber nutrisinya tidak hilang. Salah satu inovasinya, yakni minyak sawit merah atau Virgin Palm Oil (VPO) yang belum banyak diketahui masyarakat Indonesia. 

VPO ini, kata Darmono, mengandung provitamin A yang dapat menggantikan suplementasi vitamin A yang antara lain dapat mencegah stunting (kekerdilan) pada anak. Ini lantaran kombinasi karoten dan tokotrienol di dalam VPO berperan aktif dalam meningkatkan imunitas tubuh dan menekan infeksi saluran pencernaan sehingga metabolisme gizi yang diasup anak dapat terserap maksimum.

Lebih lanjut Darmono menjelaskan, VPO mengandung omega 6 yang rendah. Kandungan omega 6 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan obesitas dan diabetes. Selain itu, kandungan lainnya yaitu vitamin dalam minyak sawit dalam bentuk tokotrienol. Sejatinya lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain.

“Jadi buah sawit itu bisa diekstrak menjadi virgin palm oil atau VPO yang kaya akan vitamin A atau provitamin A berupa beta-karoten, kemudian juga vitamin E. Nah, Vitamin E di sawit itu memiliki persentase yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya,” papar Darmono.

“Yang paling memberikan harapan yang besar adalah bahwa di minyak sawit khususnya yang VPO ini mengandung tokotrienol yang tidak miliki oleh minyak nabati lainnya. Jadi ini keunggulan dari sawit, potensi sawit untuk mengatasi stunting dari kandungan beta-karoten dan vitamin E itu tadi,” sambung Darmono.

Lebih lanjut Darmono mengatakan, agar penanganan stunting lebih optimal, maka penyelesaiannya selain menggunakan produk pangan turunan sawit yang kaya vitamin A atau pro vitamin A dan vitamin E, juga harus dibarengi dengan pemberian protein hewani. Sebab, protein hewani mengandung zat gizi lengkap seperti asam amino, mineral dan vitamin yang penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.

“Memang tidak hanya vitamin A atau provitamin A dan vitamin E saja, stunting itu memang harus didekati penyelesaiannya menggunakan sawit tadi dan juga nutrisi lainnya seperti protein. Baik itu protein dari telur maupun dari ikan. Jadi memang harus komplementer,” tandas Darmono.

Baca Juga: Edukasi Masyarakat tentang Manfaat Minyak Sawit, Olenka Bersama BPDPKS Gelar Acara Sawit on Town