Dewasa ini, kartu kredit telah menjadi salah satu alat pembayaran praktis yang mempermudah dan mempercepat transaksi keuangan. Selain itu, berbagai penawaran menggiurkan juga semakin menarik minat masyarakat, mulai dari program cashback, bebas biaya tahunan seumur hidup, hingga beragam promo memikat lainnya.

Siapa sih yang nggak tergiur dengan semua penawaran itu? Walhasil, jumlah nasabah kartu kredit pun berkembang pesat. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp7.514,6 triliun pada Juli 2024.

Menjadi alat pembayaran yang kian diminati masyarakat, pertanyaannya, kapan waktu yang tepat untuk membuka fasilitas kredit yang kerap diterbitkan oleh bank? Dan bagaimana menggunakan fasilitas kredit dengan bijak?

Certified Financial Planner, CHRP, Consultant OneShildt, Ully Safitri mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat jika ingin membuka fasilitas kredit. Pemikiran bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuka kredit, menurut Ully, karena situasi ekonomi yang tidak pasti. 

“Situasi ekonomi lagi bisa dibilang turbulensi. Kita nggak tahu nih. Satu, kita sendiri pemerintahannya baru. Kalau pemerintahannya masih baru, kita ngomongin iklim investasi, investor itu kan masih wet-end. Ini bisa dipercaya nggak nih, pemerintahan yang baru? Apakah bisa membuat iklim investasi menjadi lebih baik dan lebih kondusif?” ujar Ully saat ditemui di sela agenda Kelas Finansial Jenius yang berlangsung di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (24/1/2025).

Baca Juga: Benarkah Kartu Kredit Bikin Cash Flow Berantakan? Simak Penjelasannya!

Dengan kata lain, dalam kondisi ekonomi yang turbulen, penting untuk memiliki "payung" atau perlindungan finansial. Dalam hal ini, ada dua “payung” yang tepat menurut Ully, yakni datang dari asuransi dan juga fasilitas kredit.

Kredit dinilai bisa menjadi solusi untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi, apalagi jika seseorang memiliki penghasilan tetap yang jelas, karena bank dapat melihat kemampuan pembayaran berdasarkan gaji yang diterima

“Jadi kalau ditanya, kapan saat yang paling tepat? Satu, pada saat kita punya pekerjaan, tetap. Pada saat kita punya income tetap setiap bulannya. It means kita punya arus income yang kelihatan, punya kemampuan bayar. Nah, cek aja gajinya ditaruhnya di bank mana. Ambil fasilitas kredit dari bank tersebut, itu udah pasti kemungkinan besar di-approve-nya lebih besar,” jelas Ully.

Dalam kesempatan yang sama, Ully juga menuturkan pandangannya perihal anggapan kartu kredit sebagai kartu utang. 

Tak dipungkiri, hingga saat ini masih banyak orang takut untuk membuka fasilitas kredit karena merasa takut terbebani untuk membayar cicilan dan bunga, Belum lagi, bunga akan terus dihitung dan denda akan semakin bertambah jika pembayaran terlambat.

Namun menurut Ully, jika digunakan dengan bijak, kartu kredit bisa menjadi alat pembayaran yang menguntungkan. Misalnya, dengan memperoleh poin atau membangun reputasi yang memungkinkan peningkatan limit kredit.

Baca Juga: 3 Aspek yang Perlu Kamu Pahami Sebelum Ajukan Kartu Kredit, Apa Saja?

“Kalau saya prinsipnya, fasilitas kredit itu hanya pengganti cara pembayaran. Jadi pada saat saya pakai kartu kredit, katakan 10 juta, saya punya nggak uang 10 juta? Punya. Sebenernya bisa bayar pakai cash, bayar pakai debit gitu. Tapi saya pilih pakai kartu kredit. Karena apa? Saya dapat poin. Saya dapat reputasi. Ketika saya dapet reputasi, financial institution itu akan naikin lagi limit,” tutur Ully.

Peningkatan limit tersebut, menurut Ully, bisa digunakan untuk modal bisnis, seperti bisnis rumahan atau usaha kecil-kecilan, dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjaman dari tempat lain seperti koperasi atau pinjaman online. 

“Jadi cara kita melihat kredit itu sebetulnya lihat itu sebagai resource yang kita bisa manfaatkan. Manfaatkannya buat apa? Jangan yang konsumtif terus. Cari manfaatnya untuk produktif. Itulah kelebihannya,” imbuh Ully.

Intinya, fasilitas kredit dapat menjadi sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan produktif, bukan hanya konsumtif semata.