Dalam setiap membuat kebijakan dan mengambil keputusan pemerintah harus mempertimbangkan dari berbagai aspek terkait dampak manfaat dan kerugian yang diakibatkan.
Terutama dalam bidang perindustrian karena akan memberikan pengaruh yang sangat besar baik terhadap pelaku usaha yang ada di dalam maupun luar negeri.
Menurut Pengamat Politik dan Kebijakan Publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, ramainya saat ini pembahasan mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Impor Benang Filamen Tertentu harus dilakukan perhitungan secara cermat mengenai dampaknya, bukan saja terhadap industri TPT, karyawan juga bagi pemerintahan Prabowo.
"Kalau kita melihat usulan KADI terkait dengan besaran BMAD dari 5,12% sampai 42,3% tentu akan memberatkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bila melihat kebutuhan industri hulu, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) adalah sesuatu yang vital sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tekstil," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/5/2025).
Fernando menjelaskan, apabila melihat data kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri setiap tahunnya mencapai 257.680.000 kg. Sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141.917.000 kg sehingga masih ada kekurangan sekitar 115.763.000 kg untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.
"Sehingga kalau dilakukan penerapan BMAD maka akan sangat berdampak terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 1 juta serta 5.000 lebih perusahaan besar dan sedang," jelasnya.
Karena tidak terpenuhinya pasokan bahan utama produksi tekstil seperti POY dan DTY tentu akan menghambat produksi yang mengakibatkan berhentinya operasional pabrik. Perusahaan yang tidak beroperasi tentu akan merumahkan para karyawan dalam waktu tertentu atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).