Musisi legendaris, Indra Lesmana, baru saja menyelesaikan proyek musik bertajuk “Swara Apurva”, sebuah karya eksperimental yang sarat akan spiritualitas, filosofi waktu, dan pencarian harmoni antara musik tradisional dan modern.
Proses kreatif ini memakan waktu sekitar empat bulan, dimulai dari awal Desember dan rampung di pertengahan April. Dalam durasi itu, Indra menyelami tahap demi tahap mulai dari perancangan suara hingga penciptaan komposisi, dengan pendekatan yang sangat intuitif dan terhubung pada alam serta kearifan lokal Bali.
"Prosesnya saya lakukan dengan mencoba merasakan sembilan cardinal points—sembilan penjuru mata angin menurut kepercayaan Bali—dimulai dari timur," jelas Indra, saat konferensi pers virtual yang digelar The Apurva Kempinski Bali, Jumat (25/4/2025).
Indra mengatakan, ia memulai komposisi “Swara Apurva” dari Dewa Iswara, penjaga arah timur, yang menurutnya mencerminkan permulaan hari di Bali, bukan pada tengah malam seperti lazimnya, tetapi pukul 6 pagi. Maka dari itu, komposisi pertama, Dewa Watanawasana, disusun berdasarkan waktu tersebut, menyatu dengan ritme alami perjalanan matahari.
Uniknya, seluruh karya dalam “Swara Apurva” dikerjakan dengan mempertimbangkan waktu yang selaras dengan rasa dan filosofi arah mata angin, menciptakan pengalaman musikal yang bukan hanya terdengar, tetapi juga terasa secara spiritual.
Dikatakan Indra, salah satu tantangan terbesar dalam proyek ini adalah memadukan alat musik tradisional, khususnya gamelan, dengan instrumen modern seperti piano dan string quartet.
Perbedaan sistem tuning juga menjadi hambatan utama. Namun, melalui proses eksploratif dan kolaboratif yang intens, ditemukan satu sistem tuning yang memungkinkan perpaduan harmonis antara dua dunia musik tersebut.
“Pemain gamelan dalam pertunjukan malam ini adalah anak dari almarhum Maestro Subandi—sosok yang selalu saya hubungi saat berbicara soal gamelan di Bali,” kata Indra.
Ia pun lantas mengenang Maestro Subandi sebagai sosok penting dalam terciptanya gamelan khusus yang dapat menyatu dengan suara piano modern. Meski sang maestro telah tiada, warisan bunyi yang ditinggalkannya tetap hidup dan menjadi inti suara dalam “Swara Apurva”.
Saat ditanya bagaimana dirinya menyesuaikan gaya bermusiknya dengan kebutuhan sebuah hotel internasional seperti The Apurva Kempinski Bali—yang menjadi latar dari karya ini—Indra menegaskan bahwa ia meninggalkan ego bermusiknya demi menyatu dengan nuansa dan karakter dari setiap komposisi.
“Musik dalam Swara Apurva bukanlah jazz seperti yang biasa orang kenal dari saya. Ini adalah world music dengan sentuhan piano yang tidak terlalu banyak improvisasi. Saya lebih fokus pada penciptaan suasana dan rasa,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya menjaga karakter masing-masing dewa penjuru mata angin dalam setiap lagu, dengan pendekatan musikal yang mengutamakan kesatuan nuansa, bukan keunggulan teknis pribadi.
Lewat “Swara Apurva”, Indra Lesmana tidak hanya mempersembahkan musik, melainkan juga membangun jembatan antara budaya, waktu, dan rasa. Sebuah eksplorasi musikal yang meleburkan batas-batas antara tradisi dan modernitas, antara ego dan harmoni semesta.