Ekonom Senior INDEF, Prof. Didik J Rachbini, menyoroti kondisi sektor industri Tanah Air di tengah target Presiden Prabowo Subianto membawa Indonesia pada pertumbuhan ekonomi 8%. Dia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan akan stagnan di angka 5%.

Rektor Universtasi Paramadina ini mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa mengelola ekonomi nasional bukanlah pekerjaan mudah. Dia menyayangkan belum adanya strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini. Hal ini tampak dari skor Purchasing Managers Index (PMI) yang terus menurun dan jatuh di bawah 50 persen.

Baca Juga: Hindari Proteksionisme: Kunci Indonesia Menuju Ekonomi Maju dan Sejahtera

"Selama ini, sektor industri tumbuh rendah dalam beberapa tahun, hanya sekitar 3-4 persen. Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Jokowi atau target 8 persen pada pemerinthan Prabowo Subianto," ujar Prof. Didik J Rachbini, dikutip Rabu (25/12/2024).

Terjebaknya sektor industri ke dalam proses deindustrialisasi dini harus diatasi dengan reindustrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya. Indonesia harus bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan harus berjaya di pasar domestik.

"Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri tidak lain adalah resouce-based industry, led-export industry atau outward looking industri. Strategi industri ini pernah dijalankan Pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7-8 persen," tegasnya.

Permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi. Karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, Cina, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia.  Para duta besar perlu diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.

Selanjutnya, masalah fiskal yang perlu dihadapi Indonesia adalah meningkatnya rasio utang dari tahun ke tahun. Dari tahun 2010 sampai dengan 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024.

"Ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik di mana rezim memaksimumkan budget (teori budget maximazer) tanpa kendali, tanpa kontrol, dan tanpa cek and balances yang sehat," kritisnya.

Hal itu berakibat pada kualitas belanja yang memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara. Belanja pemerintah pusat makin digerogoti pembayaran bunga utang yang  naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024).

"Belanja nonproduktif makin mendominasi, sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja nonproduktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang. Tahun 2014, porsi dua belanja tersebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024," pungkas Prof. Didik.