Growthmates, kehidupan yang bergelimang kemewahan tidak selalu menjamin seseorang tetap membumi. Hal inilah yang disadari betul oleh Founder Mayapada Group, Dato Sri Tahir.
Di tengah kesuksesan dan kepemilikan materi yang melimpah, pria kelahiran Surabaya, 26 Maret 1952 itu justru memilih untuk terus dekat dengan mereka yang lemah dan kurang beruntung. Baginya, menjaga identitas diri jauh lebih penting daripada sekadar menikmati kenyamanan hidup.
Pria yang memiliki nama asli Ang Tjoen Ming ini mengakui bahwa secara materi, ia hidup dalam serba kecukupan. Namun, di balik semua itu, ia menyadari adanya bahaya laten, yaitu lupa diri.
“Saya hidup di dalam serba kecukupan. Rumah saya bagus, mobil saya bagus, kantor saya bagus. Kalau saya tidak hati-hati, saya akan menjadi orang yang lupa diri atau kehilangan saya punya suatu identitas,” ungkap Tahir dalam sebuah video Podcast Jurnalisik di kanal YouTube Inilahcom, sebagaimana dikutip Olenka, Selasa (9/12/2025).
Kesadaran itulah yang membuatnya memilih untuk tidak mengubah ‘habitat’ hidupnya. Meskipun kini berada di lingkaran elite ekonomi, suami dari Rosy Riady ini tetap menempatkan dirinya dekat dengan masyarakat kecil atau mereka yang hidup dalam keterbatasan.
“Habitat saya adalah orang yang lemah, grup yang lemah atau orang yang tidak mampu. Saya tidak pernah mengubah habitat dulu. Karena saya datang dari keluarga normal, keluarga lemah, jadi saya tidak pernah mengubah habitat ini,” tuturnya.
Baca Juga: Dato Sri Tahir: Kekayaan Bukan Hanya Soal Uang
Bagi Tahir, kedekatan dengan kelompok masyarakat yang lemah bukanlah sebuah pencitraan. Itu adalah bagian dari jati dirinya. Ia meyakini bahwa dari merekalah ia justru banyak belajar tentang kehidupan, empati, dan rasa syukur yang sesungguhnya.
Pandangan itu semakin kuat setiap kali ia mengunjungi lokasi bencana atau tempat tragedi kemanusiaan. Dalam kunjungan-kunjungan itu, ayah dari Grace Tahir, Victoria Tahir, Jonathan Tahir, dan Jane Tahir ini merasa bukan dirinya yang memberi, melainkan dirinya yang justru ‘dibangun’ kembali secara batin.
“Maka itu, tiap kali saya mengunjungi tempat musibah, tempat tragedi, bukan saya tolong mereka, mereka yang menolong saya, mengingatkan kembali ke saya, membangun saya yang tadi merasa everything for granted,” ungkapnya.
Dikatakan Tahir, pengalaman-pengalaman tersebut menjadi pengingat kuat baginya bahwa di balik tembok-tembok kemewahan, masih sangat banyak saudara-saudara sebangsa yang hidup dalam kesulitan.
Menurutnya pula, kesadaran itulah yang menjaga nurani dan arah hidupnya agar tetap berpihak pada kemanusiaan.
“Jadi saya dibangun kembali, supaya saya tahu tidak jauh dari tempat saya tinggal masih banyak orang susah. Ini penting,” pungkas Tahir.
Baca Juga: Uang Itu Penting, Dato Sri Tahir: Tapi Ada yang Lebih Bermakna daripada Kekayaan