Dalam dunia perfilman Indonesia, setiap sutradara punya cara dan warna sendiri dalam membangun cerita.
Begitu pula dengan Bene Dion Rajagukguk, sutradara, penulis, aktor sekaligus komika yang dikenal lewat karya-karyanya yang menyentuh dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, ada satu hal yang membuat Bene berbeda dari banyak filmmaker lain, yakni latar belakang pendidikannya di bidang teknik industri.
Bene mengaku ia tak memulai perjalanannya dari sekolah film atau seni, melainkan dari dunia teknik.
Namun kata dia, pengalaman itulah yang justru membentuk cara berpikirnya dalam berkarya.
“Film memang produk seni, tapi isi kepala saya sudah terstruktur sebagai seorang teknisi. Saya belajar dari data, belajar dari histori film sebelumnya, lalu membuat itu menjadi sebuah planning baru,” tutur Bene, saat ditemui di acara Screening & Awarding Day, yang digelar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Bagi pria kelahiran 2 Maret 1990 itu, proses riset dan pencarian referensi menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap proses kreatif.
Menurutnya, ia tidak hanya menggali pengalaman pribadi, tapi juga mencoba memahami persoalan yang dialami banyak orang.
“Saya selalu memikirkan apa permasalahan dalam hidup saya, tapi juga harus jadi permasalahan hidup orang lain. Jadi ada rasa personalnya, tapi juga ada rasa bagaimana supaya banyak orang nanti bisa menikmatinya,” jelasnya.
Pendekatan tekniknya tidak hanya terlihat dalam cara Bene merangkai cerita, tapi juga dalam sistem kerja di lokasi syuting.
Ia mengakui, cara berpikirnya sebagai 'anak teknik' memengaruhi cara mengorganisasi produksi film.
“Anak teknik sangat memikirkan sistem. Jadi ketika syuting itu sudah sangat dipikirkan dengan detail ala-ala pabrik. Bagaimana ini urutan kerjanya dan segala macamnya. Itu mungkin juga memberikan warna dalam cara bersyuting,” ungkap Bene.
Ia percaya, setiap latar belakang pendidikan memberikan sentuhan tersendiri dalam karya film seseorang.
Seorang psikolog, dokter, atau teknisi, kata dia, semuanya membawa perspektif unik.
“Seperti misalnya anak kedokteran bikin film. Kita punya dokter topi loh yang bikin film. Jadi itu jadi membuat warna-warna sendiri di dalam filmnya. Mungkin terasa atau tidak terasa, tapi ada pengaruhnya,” tambahnya.
Kini, Bene membuktikan bahwa menjadi filmmaker tak melulu harus berasal dari jalur seni murni. Justru keberagaman latar belakang itu yang memperkaya warna sinema Indonesia.
"Dengan pola pikir teknis dan struktur yang matang, kita akan mampu menghadirkan cerita yang tidak hanya kuat secara naratif, tapi juga tertata secara produksi," tandasnya.
Baca Juga: Kamila Andini: Film Pendek Jadi Ruang Eksplorasi dan Harapan Baru Sineas Muda