Saat perusahaan diterpa krisis, kepekaan pemimpin mencari solusi merupakan kunci keluar dari masalah. Di tengah kondisi tidak menguntungkan seperti itu, seorang pemimpin dituntut bertindak cepat dan out of the box. Hal itulah yang disebut sebagai agile leadership, melakukan sesuatu yang tidak biasa.

Pengalaman menjalankan agile leadership dilakukan oleh Faizal Rochmad Djoemadi usai ditunjuk sebagai Direktur Utama Pos Indonesia pada tahun 2020 lalu. Saat itu, perusahaan mengalami double crisis: lingkup eksternal maupun internal.

Baca Juga: Inovasi Tidak Mungkin Terjadi Tanpa Kolaborasi

"Saat memimpin di tengah krisis, segala keputusan adalah beta," kata Faizal dalam acara Book Talk dan Ngopi Sore bertajuk "Sukses Memimpin di Tengah Chaos Pandemi" pada Rabu, 12 Juni 2024, di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta yang membahas buku terbaru karya Faizal, yaitu Thriving on Turbulence: Agile Leadership untuk Sukses Melewati Disrupsi.

Kata Faizal, ia dipaksa mengambil keputusan secara cepat dan bebannya lebih berat. Sekali salah langkah, keberlanjutan perusahaan menjadi taruhan. "Agile leadership berarti melakukan praktik kepemimpinan situasional (situational leadership) yang mampu membaca kebutuhan perusahaan saat itu," katanya.

Salah satu hal yang mencolok dalam kepemimpinan di tengah krisis adalah fokus untuk menyelesaikan pain-point perusahaan. Pada masa krisis, jarang sekali seorang pemimpin berbicara tentang visi, tetapi fokus ke aksi.

Ia menulis bahwa prioritas pertama pemimpin untuk melakukan transformasi besar-besaran adalah membuat sense of crisis. Maka dari itu, hal yang pertama dilakukan saat pertama kali berhadapan dengan krisis adalah mengomunikasikan bahwa perusahaan berada dalam kondisi kritis.

Strategi kedua adalah membangun koalisi yang solid di antara pemimpin. Hal ini disebut sebagai guiding coalition, tim yang bekerja melebihi individu atau tim pada umumnya. Ia adalah super-team. Biasanya, tim ini lahir dari sense of crisis yang dirasakan di dalam organisasi. 

Keberadaan koalisi ini, kata Faizal, sering menjadi penentu keberhasilan transformasi perusahaan. "Dalam konteks Pos Indonesia, hal ini ditunjukkan lewat soliditas di antara BOD, komisaris, dan pemegang saham," jelas pria yang merupakan alumni Teknik Elektro ITS 1986 itu.

Strategi kepemimpinan Faizal ternyata sukses mengantarkan Pos Indonesia berhasil melewati krisis. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga mampu bersaing dengan kompetitor dan memenangkan persaingan pasar.

Yuswohady, pakar bisnis dan marketing yang hadir sebagai pembahas, melihat buku Thriving on Turbulence sebagai buku pertama di Indonesia yang menggambarkan kepemimpinan di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity). Menurutnya, buku ini menjadi pembelajaran dan inovasi bagi para leader di berbagai industri lainnya.

Sebagaimana dijelaskan Faizal, dari sisi eksternal, Pos Indonesia saat itu sedang dihantam pandemi Covid-19. Sementara di internal perusahaan, perusahaan juga mengalami permasalahan yang kompleks seperti melemahnya kinerja keuangan, performansi bisnis yang menurun, serta masalah kedisiplinan.

Dalam bukunya, Faizal memaparkan strategi memimpin di tengah krisis tersebut adalah agilitas: kemampuan untuk bertindak lincah, cepat, dan tepat. Agilitas itu harus diamplifikasikan ke dalam lima aspek, yakni agile leadership, agile culture, agile digitalization, agile inno-collab, dan agile execution.