Bukan hanya artis ternama, industri perfilman Tanah Air juga telah melahirkan banyak orang-orang hebat di balik layar. Mereka bukan hanya sekadar pekerja industri, tetapi juga seniman yang berdedikasi menghadirkan karya terbaik yang bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia, hingga bisa tembus ke mancanegara.
Salah satu nama yang tak bisa dilewatkan adalah Mira Lesmana, produser kenamaan yang telah membawa banyak film Indonesia ke level yang lebih tinggi. Dengan sentuhan kreatif dan kepiawaiannya dalam membaca pasar, ia turut berperan besar dalam perkembangan perfilman Tanah Air, bahkan hingga diakui di kancah internasional.
Seperti apa sosok da perjalanan karier seorang Mira Lesmana? Berikut Olenka rangkum dari berbagai sumber, Minggu (30/3/2025), sejumlah informasi terkait.
Baca Juga: Mengenal Sosok Evi Savitri Iriani, Kepala BSIP yang Banyak Raih Penghargaan
Mira dan Keluarga Musikusnya
Mira Lesmanawati, nama lengkapnya. Lahir di Jakarta, 8 Agustus 1964 dan kini telah genap berusia 60 tahun. Darah seni seakan sudah mendarah daging dalam dirinya sejak lahir. Mira Lesmana adalah putri dari tokoh jazz ternama Indonesia, Jack Lesmana dan penyanyi senior Nien Lesmana.
Tak seperti sang adik — Indra Lesmana — yang besar sebagai musikus jazz, Mira justru tak menaruh minat pada apa yang sudah mendarah daging dalam keluarganya. Sejak kecil, Mira memiliki hobi membaca dan mendengarkan dongeng dari guru SD-nya. Hal itulah yang membuat Mira tertarik pada tulisan dan sastra.
Sempat bercita-cita menjadi seorang ilmuwan atau detektif, Mira justru putar arah karena sebuah film besutan George Lucas, Star Wars Episode IV: A New Hope (1977). Setelah menonton film tersebut, Mira terinspirasi untuk menjadi pembuat film.
Meski tak menaruh minat dalam dunia musik, Mira memiliki ketertarikan sebagai penulis lagu. Bahkan, Mira pernah membantu sang adik menulis lirik untuk sebuah lagu yang melodinya diciptakan Indra. Tak disangka, hasil kolaborasi mereka membuahkan prestasi. Lagu pertama yang ditulis Mira berhasil mengantarkan Indra meraih beasiswa di New South Wales Conservatorium of Music, Australia.
Semakin Jatuh Cinta dengan Dunia Film
Mira semakin jatuh cinta dengan dunia film, apalagi setelah ia dan keluarga pindah ke Sydney, Australia. Hampir setiap pulang sekolah, Mira selalu menonton film, entah itu di bioskop atau hanya di rumah bersama orang tuanya.
Dari sekadar menonton film untuk hiburan, lama-lama rasa ingin tahu Mira tentang dunia film pun berkembang. Mira di usia remajanya semakin ingin mengetahui bagaimana proses dan tokoh di balik pembuatan film.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya di Australia International Independent School, Mira berniat untuk melanjutkan studi ke sekolah film di Australia. Sayangnya, niat tersebut tak kesampaian. Bertepatan dengan lulusnya Indra dari beasiswa pendidikan musiknya, Mira dan keluarga harus harus kembali ke Tanah Air.
Pulang ke Indonesia, Mira pun melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 1983, sebagai mahasiswa jurusan Penyutradaraan. Dua tahun membekali diri dengan ilmu sutradara film, Mira memutuskan untuk langsung praktik dan terjun ke dunia periklanan.
Mira memulai perjalanan kariernya di dunia periklanan, di mana ia banyak terlibat dalam produksi iklan kreatif untuk berbagai merek. Pengalaman pertamanya di dunia film datang saat ia bekerja sama dengan sutradara Garin Nugroho dalam sebuah iklan layanan masyarakat.
Dari sana, ketertarikannya terhadap dunia sinema semakin tumbuh. Setelah delapan tahun meniti karier di industri periklanan, Mira akhirnya memutuskan untuk beralih ke industri perfilman Tanah Air.
Mira dan Dunia Perfilman
Kehadiran Mira membawa angin segar bagi industri film Indonesia saat itu. Bisa dibilang, ia berperan dalam menghidupkan kembali mutu dan kualitas perfilman Tanah Air.
Pasalnya, pada era 1990-an, bioskop justru lebih banyak dipenuhi film-film bernuansa erotis. Lewat karyanya, Mira ikut mendorong lahirnya film-film berkualitas yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan makna dan inspirasi bagi penonton.
Bersama Riri Riza, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani, Mira pun menggarap film Kuldesak yang diproduksi sejak 1996 dan dirilis dua tahun setelahnya. Dalam film ini, Mira bersama ketiga rekannya berkesempatan menyutradarai masing-masing segmen.
Di tengah masa kelam perfilman Indonesia kala itu, Kuldesak justru menoreh prestasi. Film garapan Mira ini berhasil dinominasikan sebagai ‘Best Asian Feature Film’ dalam Silver Screen Award di Singapore International Film Festival 1999.
Sebelum memproduksi Kuldesak, istri Mathias Muchus ini lebih dulu membangun fondasi kuat di industri film dengan mendirikan Miles Films pada Maret 1995 bersama Riri Riza. Di awal perjalanannya, Miles Films fokus pada produksi film televisi dan dokumenter, sekaligus menjadi wadah bagi seniman muda berbakat yang ingin mengasah keterampilan mereka dalam pembuatan video musik dan iklan TV.
Nama Miles Films mulai dikenal luas setelah Mira menyutradarai seri dokumenter Anak Seribu Pulau, yang terdiri dari 13 episode. Dokumenter ini tak hanya mendapat tempat di hati masyarakat, tetapi juga diakui oleh kritikus film. Keberhasilannya semakin terlihat ketika Anak Seribu Pulau ditayangkan di lima stasiun televisi swasta dan mendapat respons positif dari berbagai kalangan.
Setelah keberhasilan film Kuldesak, Mira menghadirkan Petualangan Sherina pada tahun 2000, yang awalnya diragukan banyak pihak tetapi sukses besar di pasaran. Kesuksesan ini berlanjut dengan Ada Apa dengan Cinta? (2002), yang disebut sebagai titik balik kebangkitan film nasional.
Tak hanya memproduksi film berkualitas, Mira juga aktif memperjuangkan kebebasan berekspresi di industri film dengan mendirikan Masyarakat Film Indonesia pada 2006. Meski petisi mereka untuk mengubah undang-undang sensor tidak berhasil, ia tetap konsisten menghasilkan karya berkelas, seperti Gie (2005), Garasi (2006), dan 3 Hari untuk Selamanya (2007).
Mira pun kembali memproduseri Laskar Pelangi pada 2008, di mana film ini menjadi fenomenal dan melahirkan sekuelnya, Sang Pemimpi (2009). Bukan hanya itu, Mira juga berkontribusi dalam adaptasi panggung musikal Laskar Pelangi dengan menulis 20 lagu.
Baca Juga: Mengenal Sosok Chikita Meidy, Penyanyi Cilik yang Tenar dengan Lagu 'Kuku Kuku'
Proyeknya terus berlanjut dengan film-film seperti Atambua 39° Celsius (2012), Sokola Rimba (2013), dan Pendekar Tongkat Emas (2014). Film Kesuksesan Ada Apa dengan Cinta? 2 yang diproduserinya pada 2016, menegaskan reputasi MIra sebagai produser andal Tanah Air.
Di tahun yang sama, Mira merilis Athirah, di mana berhasil meraih Piala Citra dan Piala Maya. Karya-karyanya terus berlanjut, termasuk Kulari ke Pantai (2018), Milly & Mamet (2018), Bebas (2019), dan Humba Dreams (2019), yang meraih enam nominasi di Festival Film Indonesia 2020.
Terbaru, Mira memproduseri Paranoia (2021), sebuah thriller psikologis yang mendapat apresiasi luas, serta Petualangan Sherina 2 (2023), sekuel yang dinantikan setelah lebih dari dua dekade sejak film pertamanya.
Buah dari Dedikasinya
Sepanjang kariernya, Mira Lesmana telah meraih berbagai penghargaan bergengsi di industri film Indonesia. Pada tahun 1999, ia menerima Penghargaan Khusus Festival Film Bandung sebagai Sutradara Penuh Harapan berkat film Kuldesak.
Kesuksesannya terus berlanjut, hingga pada 2016 ia meraih Piala Citra untuk Athirah dalam kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Pada tahun yang sama, ia juga dianugerahi Piala Hendrick Gozali sebagai Sosok Maestro Perfilman Indonesia.
Terbaru, pada 2024, Mira kembali mengukir prestasi dengan memenangkan Piala Citra untuk Penulis Skenario Adaptasi Terbaik lewat Petualangan Sherina 2, menegaskan perannya sebagai salah satu sosok paling berpengaruh dalam perfilman Tanah Air.