Kesederhanaan begitu melekat pada hidup Dato Sri Tahir, meski sudah menjadi salah satu pengusaha terkaya sekali pun. Kehidupan masa lalu dengan segala keterbatasan ekonomi yang dihadapi, tampaknya yang membuat Tahir tumbuh dengan kepribadian demikian. Sederhana, pekerja keras, dan tumbuh menjadi pribadi yang bijak.
Di balik gemerlap kesuksesan dan kekayaan yang dimiliki saat ini, Tahir kerap merenung, apa arti dari semua yang telah ia capai? Sebuah pertanyaan sederhana, namun sarat makna, lahir dari perjalanan panjang yang penuh kerja keras dan pengorbanan.
Banyak orang memandang posisi Tahir sebagai puncak dari impian para pelaku bisnis. Bos Mayapada ini disebut berada di titik yang bagi sebagian besar orang terlihat begitu menggairahkan.
Belum lagi media massa yang kerap menempatkan Tahir dalam sorotan, mengukurnya dari besarnya aset yang dimiliki. Namanya tercatat dalam daftar orang terkaya di Indonesia, duduk di posisi ke-12 dengan kekayaan yang melampaui 40 triliun rupiah.
Baca Juga: Dato Sri Tahir: Memiliki Mimpi Besar, Diawali dengan Langkah Kecil
Komentar demi komentar berdatangan, menyebut Tahir sebagai sosok yang "beruntung", dilihat dari keberlimpahan materi yang diraih. Tak sampai di situ, keberhasilan itu juga membuat banyak orang memasukkannya ke dalam daftar tamu kehormatan untuk menghadiri berbagai acara besar.
“Ini agak konyol, meskipun saya menghargai mereka untuk itu. Saya menghadiri banyak acara dan menghargai penyelenggara karena secara khusus mengatur tempat duduk saya seolah-olah untuk menghindari saya dari ketidaknyamanan karena salah tempat duduk,” ujar Tahir dikutip dari buku Living Sacrifice karya Alberthiene Endah, Senin (14/4/2025).
Bahkan, lingkungan sekitarnya ikut berubah. Setelah menjadi orang sukses, Tahir mengaku sempat bertemu dengan orang-orang dari masa kecil dan remajanya yang dulu memandang ia rendah. Namun setelah kesuksesan itu diraih, mereka mengirimkan pesan dengan erat seolah-olah untuk menebus dosa masa lalu pada Tahir.
“Mereka tersenyum lebar seolah-olah mereka takut aku tak bisa melihat keramahan mereka. Mereka membuatku tertawa dalam hatiku. Di mana senyum mereka saat aku masih menjadi anak miskin?” tutur Tahir.
Setelah menjadi sukses, Tahir mendapat perlakuan baik, khususnya di lingkungan bisnis. Ia menyadari, cukup banyak pihak yang berusaha untuk bisa bertemu dengannya, mulai dari rekan bisnis hingga orang-orang yang sama sekali belum dikenal. Sekretarisnya pun terus-menerus menyampaikan permintaan audiensi, hampir tanpa henti.
Bukan tanpa alasan. Sebagai seorang bankir dengan aset yang cukup besar, Tahir menjadi sosok yang dicari. Dalam banyak kasus, orang-orang datang dengan satu tujuan, potensi pinjaman. Namun ironisnya, mereka yang datang membawa harapan, seringkali justru kesulitan menyampaikan maksud mereka dengan cara yang baik dan tulus.
Tahir pun merenung. Apakah semua perlakuan baik ini membuatnya bangga? Tidak serta-merta. Baginya, inilah hukum dunia. Ketika seseorang dibutuhkan, mereka akan diperlakukan dengan baik. Namun ketika tidak lagi dianggap penting, perhatian itu bisa menghilang begitu saja, bahkan ada kemungkinan disingkirkan.
Baca Juga: Kupas Tuntas Rahasia Sukses Sederhana Bos Mayapada Dato Sri Tahir
“Hukum dunia sangat kejam. Oleh karena itu, saya tidak merasa senang atau bangga karena dicari banyak orang. Keadaan ini merupakan akibat dari kondisi tertentu yang saya alami. Saya tidak boleh terbuai dengan cara dunia memperlakukan saya hanya karena mereka hanya fokus pada kesuksesan bisnis yang saya raih dan aset yang saya miliki yang terus bertambah,” kata Tahir.
“Saya harus berdiri teguh pada jati diri saya sendiri. Saya adalah Tahir yang sederhana dan saya tidak butuh pujian. Jika saya gagal dalam menjalankan prinsip ini, saya akan mudah lupa diri dan terbuai oleh cara orang-orang memanjakan saya hanya karena kekayaan saya,” tegasnya.
Tahir memang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang sederhana dan rendah hati. Ternyata ada alasan di balik sikapnya yang demikian. Di mana, ia tidak ingin terjebak dalam stereotip orang kaya. Ia enggan menjadi orang kaya yang melupakan asal-usulnya.
Filantropis ternama ini teringat cerita yang pernah disampaikan dosennya saat menempuh pendidikan magister di Golden Gate University. Cerita itu menggambarkan bagaimana orang kaya seringkali diidentifikasikan dengan ketidakadilan.
Dosen Tahir bercerita tentang masa Perang Dunia II, ketika ekonomi Jerman sangat buruk. Banyak orang menganggur, namun beberapa industri tetap bertahan dan sejumlah orang masih hidup makmur. Suatu hari, seorang karyawan di pabrik yang bekerja meminta kenaikan gaji kepada pemilik pabrik yang kaya raya.
"Tuan, bolehkah saya mendapat gaji yang lebih tinggi? Saya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji saya sekarang," kata si karyawan.
Pemilik pabrik, yang kaya raya, menatapnya dengan sinis dan membawa karyawan itu ke halaman pabrik. Di balik pagar pabrik, ia menunjukkan ribuan orang yang menginginkan pekerjaan.
"Lihat! Ribuan orang berdiri di luar sana, berharap mendapatkan pekerjaan. Kamu mau gajimu dinaikkan? Ada banyak yang siap menggantikanmu," kata pemilik pabrik dengan nada keras. Karyawan itu hanya bisa terdiam, tak mampu berkata-kata.
Tahir menilai, itulah contoh orang kaya yang bisa bertindak semaunya tanpa memikirkan perasaan orang lain yang tingkat ekonominya jauh di bawah dirinya. Menjadi kaya bisa membuat seseorang kehilangan hati nurani dan kesadarannya untuk menyakiti perasaan orang lain.
Baca Juga: Wisdom Dato Sri Tahir Ketika Mengembangkan Bisnis Media
“Kisah ini memberikan saya contoh tentang kondisi psikologis orang kaya. Kekayaan terkadang membuat orang mampu berbicara lebih lantang atau bertindak semaunya. Kekayaan juga bisa membuat orang menjadi sombong, suka menekan, menegaskan, dan menindas,” kata Tahir.
“Hal ini tidak bisa dipungkiri dan sebenarnya saya sudah sering melihat hal ini dalam kehidupan saya dalam berbagai bentuk. Kisah ini melekat dalam pikiran saya dan menjadi semacam pengingat agar saya tidak menjadi orang yang menyedihkan,” tambahnya.
Bagi Tahir, uang memang punya kekuatan besar — ia bisa mengubah sikap, bahkan cara pandang seseorang terhadap dunia. Namun di tengah kekayaan yang dimilikinya, Tahir tetap memegang teguh satu hal, ia masih memandang hidup dengan pola pikir anak desa. Harta puluhan triliun rupiah tak lantas mengubah kepribadiannya. Ia percaya, harta bukan alasan untuk kehilangan jati diri. Sebaliknya, justru nilai-nilai sederhana dari masa kecil itulah yang membuatnya tetap membumi, sekaligus menjadi pegangan dalam setiap langkahnya hingga hari ini.
Salah satu faktor yang membuatnya tetap mempertahankan jati diri sebagai orang yang tidak kehilangan jati diri adalah kerinduan yang tak pernah padam pada Surabaya, pada sebuah tempat di Jalan Bunguran, rumah yang makin tampak usang. Tahir rindu kehangatan di dalam yang dulu diliputi kesederhanaan. Ia rindu suasana perjuangan yang berpadu kasih sayang. Surabaya dengan segala kenangan manis yang pernah dimiliki tak pernah lepas dari ingatan Tahir hingga saat ini.
“Kerinduan itu malah berlipat ganda. Aku selalu ingin kembali ke sana untuk berziarah ke makam ayahku, Ang Bun Ing. Sesungguhnya aku tak pernah bisa lepas dari masa laluku. Meski pekat kelam di dalamnya, ia telah menjadi akarku. Apa yang telah kucapai saat ini tak akan pernah bisa melampaui akarku,” akunya.
Bagi Tahir, benang merah antara masa lalunya yang penuh perjuangan dan pencapaian luar biasa hari ini terletak pada satu harapan besar: menciptakan kebahagiaan sejati dan menjaga martabat dirinya serta keluarganya.
Tahir percaya, cinta yang tulus dalam keluarga adalah pondasi utama. Ia pun berusaha memenuhi keluarganya dengan kasih sayang sebanyak mungkin, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang bermartabat dan berguna bagi sesama. Sebab baginya, keberhasilan sejati tak hanya diukur dari harta, tapi dari nilai-nilai yang diwariskan dan manfaat yang ditinggalkan.
“Saya tidak ingin anak-anak saya menderita penghinaan apapun dalam hidup mereka. Caranya bukanlah dengan mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri, tetapi dengan didorong untuk mengubah diri mereka menjadi individu yang saleh dan berguna,” imbuhnya.