Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan besar Indonesia, dia dianggap sebagai musuh rezim Orde Baru lantaran karyanya dianggap mempropagandakan komunisme. Banyak karyanya dicekal, dilarang terbit hingga dibakar.
Pram begitu ia disapa lahir di Blora 6 Februari 1925. Dia adalah anak pertama dari 8 bersaudara. Ayahnya bernama Mastoer sedangkan ibu bernama Oemi Saidah.
Pram lahir di tengah keluarga yang pas-pasan secara ekonomi. Mastoer sang ayah bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar Institut Boedi Oetomo di Blora. Ayahnya sempat didapuk menjadi kepala sekolah. Sementara itu Oemi Saidah membantu sang suami dengan berjualan nasi.
Baca Juga: 5 Perpustakaan Terbesar di Dunia yang Sediakan Jutaan Judul Buku, Intip Yuk!
Lahir dari keluarga guru, Pram sebetulnya dianggap sebagai anak bodoh oleh ayah sendiri setelah dia tak naik kelas selama tiga kali. Puncaknya, sang ayah yang hobi berjudi tak mau lagi mengongkosi pendidikan Pram setelah ia menuntaskan pendidikan sekolah dasar.
Beruntung sang ibu melek pendidikan, dia mengupayakan berbagai cara untuk melanjutkan pendidikan Pram. Singkat cerita Pram muda akhirnya diterima di sekolah Radio Vackschool (sekolah telegraf).
Namun, di sekolah ini Pram tak mendapatkan sertifikat kelulusan kendati sudah menuntaskan pendidikannya lantaran saat itu Jepang masuk dan mulai menjajah Indonesia.
Mei 1942, Pram berangkat ke Jakarta dengan semua adik-adiknya. Usia Pram ketika itu masih belasan tahun, tetapi dia sudah menjadi tulang punggung keluarga ketika ibunya meninggal dunia saat dia berumur 17 tahun. Ayah mereka yang doyan berjudi tak mau ambil pusing dengan urusan anak-anaknya.
Nasib baik berpihak pada Pram, di Jakarta ia bekerja di Kantor Berita Domei. Upahnya cukup menghidupi dirinya dan adik-adiknya. Tahun pertama di Jakarta, Pram langsung melanjutkan pendidikannya di Taman Dewasa/Taman Siswa hingga 1943.
Di tahun berikutnya dia ikut kursus di sekolah Stenografi selama setahun dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Islam pada 1945. Pram mengambil jurusan filsafat, sosiologi, dan sejarah.
Setahun menjadi mahasiswa, Pram bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di dunia Militer, Pram berpangkat Letnan II dan ditempatkan di Cikampek dengan sekutu Front Jakarta Timur.
Naas, Pram kemudian ditangkap marinir Belanda pada 22 Juli 1947. Dia dipenjara di Bukit Duri hingga 1949 dengan tuduhan menyimpan dokumen rahasia.
Tiga tahun hidup di pengasingan, Pram aktif menulis cerpen. Sepoeloeh Kepala Nica adalah karya pertamanya. Namun naskahnya lenyap di tangan Balai Pustaka.
Kendati karya perdananya gagal terbit, namun Pram tak pernah berhenti menulis. Hingga pada 1950 ia menyabet penghargaan pertama dari Balai Pustaka untuk novelnya yang berjudul Perburuan.