Kondisi Komoditas Kelapa di Indonesia
Jokowi mengatakan Indonesia memiliki luas lahan kelapa 3,8 juta hektare dengan produksi 2,8 juta ton per tahun. Menurutnya, jumlah tersebut sangat besar.
“Yang berpotensi berproduksi besar itu adalah provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Riau,” kata Jokowi.
Selain itu, komoditas kelapa juga berkontribusi dalam penerimaan devisa negara, penyedia lapangan kerja, menyediakan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing, serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
“Ekspor kita juga bukan jumlah yang kecil, 1,55 miliar USD itu juga angka yang besar, dan bisa kita tingkatkan lagi kalau kita serius, kalau kita mau menseriusi urusan yang berkaitan dengan kelapa,” kata Jokowi.
Baca Juga: BPDPKS Ajak Gen Z Kenal Kelapa Sawit Secara Objektif
Jokowi berpesan untuk meningkatkan produksi kelapa dan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah karena kualitas bibit kelapa sangat penting.
"Kedua, pemeliharaan dan perawatan itu sangat penting," katanya.
Produksi dan Hilirisasi Kelapa
Pada kesempatan berbeda, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Makro Kementerian Koperasi dan UKM, Rulli Nuryanto juga mengemukakan bahwa saat ini pemerintah tengah mendorong hilirisasi yang tidak hanya terbatas pada komoditas mineral, tetapi juga pada komoditas non mineral seperti kelapa, rumput laut, sawit dan komoditas -komoditas potensial lainnya.
Adapun, salah satu bentuk dukungan Kemenkop UKM pada hilirisasi industri kelapa yakni pembangunan Rumah Produksi Bersama atau factory sharing untuk olahan kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pembangunan Rumah Produksi Bersama olahan kelapa ini nantinya akan dikelola oleh Koperasi.
Rulli menekankan, daya saing dan ekspor kelapa Indonesia perlu kita kembangkan secara terintegrasi dari sektor hulu ke hilir, terkoneksi dengan pembiayaan, dan didukung teknologi terkini.
“Salah satu strateginya melalui koperasi di mana para petani bergabung dalam koperasi yang selanjutnya koperasi yang akan menyerap produk kelapa dari petani, mengolah, dan menjual hasil produk olahan kelapa ke pasar,” kata Rulli.
Ia menegaskan, perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing ekspor dengan secara bertahap mengurangi dan menyetop ekspor bahan baku mentah (bahan mentah) yang nilai penambahannya kecil.
Bioavtur Tidak Akan Mengganggu Pasokan Pangan
Teman sejawat , pemanfaatan buah kelapa sebagai bioavtur disinyalir tidak akan mengganggu pasokan pangan. Pasalnya, buah kelapa yang dimanfaatkan merupakan kelapa reject atau tidak layak untuk dikonsumsi.
Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera dalam diskusi Rembuk Nasional Transisi Energi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kelapa yang bisa dipakai untuk membuat bioavtur justru kelapa yang tidak memenuhi kualifikasi untuk konsumsi alias kelapa reject.
“Justru kelapa ini dari kelapa yang ditolak,” ungkapnya.
Menurutnya, dari sebuah pohon kelapa terdapat sekitar 20-30% buah yang tidak layak dikonsumsi. Dengan demikian, katanya, penggunaan kelapa untuk BBM ini tidak akan mengganggu pasokan pangan.
“Banyak sekali potensi yang ada di kebun kita, namun belum kita optimalkan, inilah ruang inovasi yang terus kita dorong,” kata dia.
Sayangnya, Dida belum menjelaskan sejauh mana penelitian yang dilakukan menyimpulkan terkait potensi penggunaan kelapa reject untuk bahan bakar pesawat. Dia hanya mengatakan pemerintah terus menggali seluruh potensi yang ada guna melakukan transisi ke sumber energi yang ramah lingkungan dan kemandirian energi.
Selain itu, upaya ini juga merupakan bagian dari hilirisasi yang didorong oleh Jokowi. Pasalnya, selama ini kelapa hanya diekspor dalam bentuk mentah.
"Kelapa selama ini kita ekspor dalam bentuk bulat aja, sama kayak mineral. Jadi sebaiknya kita olah di negeri sesuai Arahan Bapak Presiden, hilirisasi tidak hanya di sektor mineral," imbuhnya.