Rencana pemerintah akan menerapkan subsidi tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025 menuai polemik. Wacana ini pertama kali disuarakan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Mulanya, kebijakan ini dibentuk dengan harapan bisa membuat anggaran subsidi Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) menjadi lebih tepat sasaran.

Sebagai informasi, selama ini, seluruh tiket KRL Jabodetabek disubsidi pemerintah dalam bentuk PSO, sehingga pemberian subsidi dilakukan secara merata kepada seluruh penumpang KRL.

"Rencana ini merupakan bagian dari upaya DJKA dalam melakukan penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dengan subsidi yang lebih tepat sasaran," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal dalam keterangan tertulis, seperti dikutip Minggu (01/09/2024).

Baca Juga: Baca Buku di KRL: Langkah Besar Bagi Kemajuan Perjalanan Literasi di Nusantara

Lantas, bagaimana respon masyarakat mengenai rencana kebijakan tersebut? Apa dampaknya untuk masyarakat menengah? Dan, akankah tujuan dari wacana ini dapat terealisasi? Redaksi Olenka telah merangkumnya, berikut ini:

Subsidi PSO PT KAI dari Tahun ke Tahun

Seperti disebutkan sebelumnya, tujuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan ini agar bisa membuat anggaran subsidi PSO menjadi lebih tepat sasaran. Memangnya seperti apa sih gambaran subsidi PSO dari tahun ke tahun sebelumnya?

Mengutip dari CNBC Research (01/09/2024), merujuk Dokumen Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025, subsidi PSO direncanakan sebesar Rp7,96 triliun.

Lebih rinci lagi, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4,79 triliun. Anggaran sebesar itu digunakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek.

Mengutip dari laman Kementerian Keuangan, PSO dialokasikan pada sejumlah kementerian/lembaga di antaranya adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan dan Direktorat Kementerian Komunikasi dan Informatika.

PSO tersebut kemudian disalurkan kepada Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN) Operator yang melaksanakan layanan kepada masyarakat. BUMN Operator tersebut adalah PT Pelni yang melaksanakan Pengelolaan Subsidi PSO Angkutan Laut, PT Perkeretaapian yang melaksanakan Pengelolaan Subsidi PSO Perkeretaapian, dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang melaksanakan Pengelolaan Subsidi PSO untuk Informasi Publik Bidang Pers.

Baca Juga: Balik Modal Investasi Kereta Cepat Whoosh, Kapankah Terwujud?

PSO PT KAI mengalami kenaikan dari 2019 yang sebesar Rp2,17 triliun menjadi Rp2,52 triliun atau meningkat sebesar 16,13%. Sedangkan dalamĀ  Nota Keuangan, PSO PT KAI untuk 2025 diharapkan melesat menjadi Rp4,79 triliun.

Kebijakan Subsidi PSO merupakan kebijakan yang harus dipertimbangkan untuk tetap dapat dialokasikan dan diserahkan kepada masyarakat umum yang membutuhkan. Namun, tingginya anggaran yang dialokasikan pada subsidi PSO harus didukung dengan mekanisme dan prosedur pengawasan yang baik.

Jumlah biaya yang ditagihkan oleh BUMN Operator harus benar-benar memperhitungkan komponen biaya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam subsidi PSO.

Dengan demikian, masyarakat umum dapat menikmati pengalokasian belanja subsidi PSO secara maksimal.

Tanggapan Masyarakat Tranportasi Indonesia

Alih-alih mengubah skema subsidi tarif KRL, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno menilai pemerintah lebih baik meningkatkan kualitas layanan dan fasilitas dari KRL lebih dulu.

Meski demikian, dia juga mengakui bahwa ada sisi positifnya yaitu masyarakat kalangan menengah ke bawah berpotensi mendapatkan tarif KRL yang lebih murah dibandingkan kalangan menengah ke atas. "Secara keseluruhan dampaknya positif, tapi jangan dulu diberlakukan sekarang. Kenapa mereka [masyarakat] marah atau tidak terima? Karena saat ini mereka menikmati KRL yang tidak nyaman," ujar Djoko dikutip dari Bisnis.com.

Baca Juga: Mengulik Rencana Pemerintah Wajibkan Asuransi Kendaraan Bermotor

Djoko menyayangkan pemerintah bukannya memberikan kualitas yang baik dulu baru menyosialisasi terkait rencana kebijakan ini.

"Artinya, pemerintah harus meningkatkan kualitas dari segi layanan dan fasilitas KRL sebelum menetapkan tarif berbasis NIK. Setidaknya dalam kondisi normal, rangkaiannya 12, biarkan masyarakat menikmati dulu, ternyata KRL-nya sudah bagus yang dipesan dari China, baru lah sosialisasi," pungkasnya.