Menurut data BULOG, dampak serius dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan semakin terasa, khususnya dari sisi menurunnya produksi tanaman pangan. Misalnya, produksi beras nasional dari Januari hingga April 2024 mengalami penurunan sebesar 17,74 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 22,55 juta ton menjadi 18,55 juta ton.

Di tengah ancaman krisis pangan, kebutuhan kontribusi di bidang ilmu bioteknologi pun semakin dibutuhkan. Kehadiran bioteknologi modern menjadi salah satu upaya untuk mencegah risiko krisis pangan di Tanah Air.

“Produk rekayasa genetik dapat menjadi salah satu alternatif teknologi yang digunakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas karena bioteknologi modern mempunyai dampak positif antara lain dalam perbaikan produksi dan pendapatan, perlindungan keanekaragaman hayati, ramah lingkungan, pengurangan penggunaan pestisida, dan berkelanjutan serta dari aspek sosial memiliki andil. dalam pengentasan kemiskinan di negara-negara, baik di negara maju atau di luar negeri,” ujar Kepala PPVTPP Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc., dalam agenda sarasehan bertajuk Pertanian Berkelanjutan dan Adopsi Teknologi Modern di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (31/07/24).

Baca Juga: Didukung Merkle Innovation Technology dan Westcon Indonesia, Greens Wujudkan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia

Mulai memasuki era darurat, Leli mengungkap betapa pentingnya memanfaatkan bioteknologi modern. Peranan benih bioteknologi juga menjadi salah satu upaya dalam mencegah risiko pangan akibat perubahan iklim yang tak terhindarkan. 

“Saat ini kita sedang menghadapi perubahan iklim yang sangat tidak diketahui dan sangat dirasakan oleh para petani. Dan ini kita memasuki era darurat. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian kami memiliki tugas yang sangat berat dalam menyediakan pangan bagi seluruh masyarakat,” tutur Leli.

“Dan salah satu yang bisa kita dorong adalah bagaimana kita memanfaatkan bioteknologi modern ini sebagai salah satu teknologi di dalam menghasilkan varietas serta sumber baru dan terbukti saat ini di musim kemarau yang panjang ketersediaan varietas umum baru akan sangat menentukan peningkatan produksi khususnya yang sekarang kita hadapi adalah padi,” sambungnya.

Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) hingga saat ini sudah melepaskan sepuluh tanaman Produk Rekayasa Genetika (PRG), delapan varietas di antaranya adalah jagung PRG dan sisanya varietas kentang dan tebu.

Leli menegaskan, pihaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat dalam melakukan pelepasan varietas tanaman PRG. Ia berharap, varietas-varietas lain juga dapat dihasilkan melalui bioteknologi modern.

“Oleh karena itu bagaimana ke depan kita bersama-sama memanfaatkan varietas-varietas baru PRG ini untuk dapat mendorong peningkatan produksi pangan di Indonesia dan mudah-mudahan ini juga dapat diterima oleh masyarakat dan tentunya dapat mendorong ketahanan pangan Indonesia,” imbuh Leli.

Kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar. Sayangnya, pengembangan benih unggul di Indonesia sendiri terbilang terlambat dibandingkan negara lain. Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun. 

Baca Juga: Ciptakan Ekosistem Pertanian Mandiri, Pupuk Kaltim Fokus Jalankan Program MAKMUR 2024 melalui Inovasi dan Kolaborasi

Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan mengungkap bahwa, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat izin penggunaan, dan itu pun masih dalam skala terbatas. 

“Regulasi yang ketat masih menjadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah lagi, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi, tantangan yang dihadapi para petani sudah berubah. Padahal dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya,” jelasnya.

Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia, seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30%. 

“Pencapaian ini menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi bioteknologi benih di pasar, sehingga para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain,” Agung.

Senada dengan hal tersebut, Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia Agustine Christela Melviana menambahkan bahwa penerapan benih bioteknologi memungkinkan petani untuk meminimalisir potensi kehilangan hasil. 

“Benih bioteknologi dirancang untuk memiliki sifat unggul. Artinya, ketika ditanam, tanaman yang dihasilkan bisa lebih tahan terhadap hama, gulma, penyakit, ataupun kondisi lingkungan yang ekstrem. Dengan pemanfaatan benih bioteknologi ini, potensi kehilangan hasil pertanian bisa ditekan hingga 10%, yang berarti ada peningkatan produksi panen yang signifikan bagi petani di lahan terbatas,” imbuhnya.