Contoh sederhananya, kata Prof. Hikmahanto, ketika pengangkatan direksi yang terdapat dua instrumen hukum di dalamnya. Di antaranya adalah instrumen hukum dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh menteri, dan RUPS. 

“Nah, sementara kalau misalnya katakanlah ada direksi yang tidak setuju diberhentikan, dia perginya ke mana? Ada dua kemungkinan, kalau dia RUPS perginya ke Pengadilan Negeri. Kalau dia pakai surat keputusan, pergi ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” paparnya.

“Sekarang pertanyaannya, kalau putusannya berbeda bagaimana? Itu yang saya melihat adanya dualisme di dalam apa yang terjadi pada hari ini,” tambah Prof. Hikmahanto.

Baca Juga: Popy Rufaidah Nilai Rencana Perombakan BUMN di Era Prabowo untuk Tingkatkan Kinerja

Lantaran hal tersebut, Prof. Hikmahanto berharap, pembentukan super holding BUMN didukung oleh undang-undang khusus, mirip dengan yang dilakukan untuk pembentukan Indonesia Investment Authority (INA) melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

Dengan kata lain, dengan memiliki dasar hukum berupa undang-undang, super holding BUMN akan memiliki landasan hukum yang kuat untuk beroperasi dan melakukan pengelolaan perusahaan-perusahaan BUMN secara lebih efektif.

“Nanti mereka punya mekanisme sendiri, punya bisnis sendiri, punya governance sendiri yang memang betul-betul menjalankan usaha. Jadi kalo melihat Temasek, kemudian juga Khazanah, Superholding itu adalah yang menjalankan usaha, tidak ada urusan sama kementerian, dan itu akan bertanggung jawab langsung ke presiden,” imbuhnya.