Di antara aroma manis nangka muda yang dimasak berjam-jam dan sambal krecek yang menggoda selera, nama Yu Djum menjadi legenda.
Bagi siapa pun yang pernah mencicipi gudeg khas Yogyakarta, terutama di kawasan Wijilan, besar kemungkinan pernah merasakan sentuhan rasa dari tangan dingin Djuwariyah, sosok perempuan sederhana yang akrab dipanggil Yu Djum.
Yu Djum sendiri bukan sekadar penjual gudeg, beliau adalah legenda hidup yang telah mengubah makanan khas Yogyakarta itu menjadi ikon rasa yang dirindukan banyak orang.
Tak banyak yang tahu, perjalanan nenek yang mempunyai 12 cucu dari empat orang anak tersebut menjual gudeg sejak berusia 17 tahun. Ia pun memulai usahanya dimulai dari bawah, yakni berjualan dengan pikulan dan tekad.
Tapi, berkat kegigihan dan keuletannya, warung gudeg kecilnya tumbuh menjadi usaha keluarga yang dikenal hingga mancanegara. Di balik kelembutan gudegnya, ada keteguhan hati seorang perempuan yang menjadikan tradisi sebagai kekuatan, dan masakan sebagai bahasa cinta.
Dan, berikut Olenka sajikan sejumlah informasi terkait sosok Yu Djum, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, Jumat (23/5/2025).
Lahir dari Kesederhanaan
Yu Djum lahir pada 2 Desember 1938 di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kehidupan masa kecilnya dilalui dalam kondisi sederhana.
Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan dapur dan pekerjaan rumah tangga, sebuah hal yang kelak menjadi dasar keahliannya dalam meracik makanan. Setelah menikah, ia menetap di Yogyakarta dan mulai mencari cara untuk membantu perekonomian keluarga.
Suaminya, Sudarmaji, mendukung penuh langkah istrinya. Meski awalnya hanya berjualan gudeg dengan cara dipikul keliling kampung, Yu Djum tak patah semangat.
Ia memasak sendiri semua bahan dari dini hari, kemudian memikul dagangannya hingga sore hari. Perjuangan yang panjang dan penuh keringat itu perlahan membuahkan hasil. Rasa gudeg buatannya mulai dikenal dan digemari banyak orang.
Dalam mendidik anak-anaknya, Yu Djum terbilang sangat tegas dan keras. Namun, ketika bersosialisasi dengan pembeli atau dengan warga sekitar, sosoknya terkenal sangat ramah dan penyayang.
Dari Pikulan ke Warung Legendaris
Tahun demi tahun, Yu Djum membuktikan bahwa keuletan tak pernah mengkhianati hasil. Usahanya berkembang, dan pada tahun 1985, ia resmi membuka warung tetap di kawasan Wijilan, yang saat ini dikenal sebagai pusat gudeg di Yogyakarta.
Dari satu warung kecil, kini merek Gudeg Yu Djum berkembang menjadi beberapa cabang di berbagai sudut kota.
Warung ini tak hanya menjadi tempat makan, tetapi juga tempat ziarah kuliner bagi wisatawan, tokoh nasional, hingga selebritas yang ingin merasakan keaslian gudeg Jogja.
Keluarga dan Generasi Penerus
Dalam perjalanannya, Yu Djum tak sendiri. Ia melibatkan keluarga dalam menjalankan usahanya. Tak berhenti sampai generasi anak, kini cucu-cucu Yu Djum juga mulai terlibat aktif dalam pengelolaan usaha, mulai dari produksi hingga pemasaran modern.
Mereka membawa sentuhan baru dengan tetap menjaga resep asli yang telah menjadi ciri khas. Keberhasilan ini menjadikan gudeg Yu Djum sebagai usaha keluarga lintas generasi yang langgeng, tanpa kehilangan jati diri.
Dikutip dari RRI, salah satu cucunya, Remila Mursinta, kini menjadi penerus utama usaha Gudeg Yu Djum. Ia pun komit menjaga resep, kualitas, dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak awal, ketulusan, kesederhanaan, dan kerja keras.
Keberhasilan Gudeg Yu Djum tak hanya menjadi bukti ketangguhan perempuan Jawa, tetapi juga warisan keluarga yang terus tumbuh dari generasi ke generasi.
Keunggulan Gudeg Yu Djum
Keunggulan Gudeg Yu Djum terletak pada resep otentik yang diwariskan secara turun-temurun dan tak pernah berubah sejak pertama kali diracik oleh pendirinya. Proses memasaknya pun masih menggunakan cara tradisional dengan kayu bakar, yang menghasilkan rasa lebih sedap dan aroma khas yang menggugah selera.
Ditambah lagi, bahan baku yang digunakan selalu berkualitas tinggi, seperti nangka muda pilihan dan telur bebek berbumbu pekat yang menjadikan setiap porsinya istimewa. Tak hanya nikmat disantap di tempat, gudeg ini juga tahan lama tanpa bahan pengawet, menjadikannya oleh-oleh favorit dari Yogyakarta.
Menurut Remila Mursinta yang sekaligus generasi ke-3, saat ini Gudeg Yu Djum berinovasi dengan membuat gudeg kaleng dan gudeg vakum, sehingga aman untuk dikirim ke luar daerah bahkan ke luar negeri.
Untuk ketahanan gudeg kaleng ini bisa sampai 1 tahun dan tanpa bahan pengawet. Saat ini outlet Gudeg Yu Djum milik Shinta di Yogyakarta ada 4 dan di Jakarta sebanyak 3 outlet.
Untuk menjaga kualitas rasanya Gudeg dikirim langsung dari Yogyakarta ke outlet Gudeg Yu Djum di Jakarta. Perempuan yang karin disapa Sinta itu berharap agar generasi muda semakin mengerti dengan makanan khas atau makanan tradisional dari daerahnya dan yang ada di Indonesia.
“Harapan saya agar anak-anak muda tidak melupakan makanan tradisional dan makanan tradisional ini dapat bertahan dengan gempuran makanan- makan kekinian, sehingga makanan tradisional semakin dicintai generasi muda,” katanya, dikutip dari RRI.
Selain gudeg kering, tempat makan ini juga menggunakan telur bebek yang berasal dari Jawa Timur serta nangka kering yang berasal dari Prembun, Jawa Tengah. Harga satu porsi Gudeg Yu Djum juga bervariasi dan tergolong ramah di kantong mulai dari Rp15.000 hingga Rp300.000-an.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Yu Djum wafat pada 31 Mei 2016 dalam usia 77 tahun. Meski telah tiada, namanya tetap harum sebagai pelopor gudeg legendaris yang membawa nama Yogyakarta ke peta kuliner nasional dan internasional.
Jauh sebelum meninggal, Yu Djum sudah mewariskan resep rahasia gudegnya kepada anak dan cucu. Termasuk rahasia memilih bahan baku yang berkualitas.
Hari ini, siapa pun yang melangkahkan kaki ke warung gudeg Yu Djum akan merasakan lebih dari sekadar makanan. Mereka akan mencicipi sejarah, cinta, dan ketulusan seorang ibu Jawa yang hidupnya dipersembahkan sepenuh hati untuk menjaga rasa.
Baca Juga: Mengenang Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, Sosok 'Ibu Kandung' Taksi Bluebird