Warisan & Kepergian
Setelah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya bagi teater dan perfilman Indonesia, perjalanan hidup Teguh Karya memasuki babak yang tak mudah. Pada 1998, sang maestro diketahui menderita stroke.
Penyakit yang diderita Teguh Karya membuatnya kehilangan ingatan dan harus duduk di kursi roda seumur hidup. Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 64 tahun di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo, Jakarta Pusat pada 11 Desember 2001.
Meski raganya telah tiada, warisan karyanya terus hidup dan menginspirasi generasi demi generasi. Sepanjang perjalanan kariernya, Teguh Karya telah menjadi sosok paling berpengaruh dalam sejarah perfilman Indonesia. Ia tercatat sebagai sineas dengan raihan Piala Citra terbanyak.
Selain menjadi sutradara dengan penghargaan Sutradara Terbaik terbanyak yakni enam kemenangan dari sembilan nominasi, film-film garapannya juga paling sering dinobatkan sebagai Film Terbaik, sebanyak lima kali dari delapan nominasi.
Baca Juga: Deretan Karya Yandy Laurens, Sutradara di Balik Film-film yang Menghangatkan Hati
Pada 1985, Teguh mencatat sejarah ketika dua filmnya sekaligus, yakni Doea Tanda Mata dan Secangkir Kopi Pahit masuk nominasi Sutradara Terbaik serta Film Terbaik. Namun, momen itu justru menjadi panggung kemenangan “muridnya”, Slamet Rahardjo, dengan film Kembang Kertas.
Warisan Teguh tak berhenti pada karya visual. Pada 2005, Twilite Orchestra menggelar konser penghormatan yang menampilkan lagu-lagu dari film-filmnya. Para pengisi termasuk sosok-sosok yang pernah ia arahkan, seperti Berlian Hutauruk, serta musisi ternama seperti Krisdayanti dan Ruth Sahanaya.
Hingga kini, nama Teguh Karya tetap dielu-elukan. Dalam Festival Film Indonesia 2015 mendedikasikan tema besar “Tribute to Teguh Karya” sebagai penghormatan mendalam terhadap sang maestro, dan malam penganugerahan tahun itu digelar di Banten yang tak lain adalah tanah kelahirannya.