Panggung perfilman dan teater Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari sosok-sosok besar di balik layar. Meski telah tiada, karya dan dedikasinya tetap hidup dan dikenang lintas generasi. Mendiang Teguh Karya adalah salah satunya, sutradara legendaris sekaligus pendiri Teater Populer, yang dulu bernama Teater Populer Hotel Indonesia.

Pemilik nama asli Steve Liem Tjoan Hok ini dikenal sebagai sutradara film Indonesia yang dikenal akan karya-karyanya yang humanis. Film garapannya berhasil melahirkan banyak aktor dan aktris terkemuka seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, hingga Alex Komang.

Berikut ini telah Olenka rangkum dari berbagai sumber, Minggu (9/11/2025), mengenal lebih lanjut sosok dan perjalanan karier mendiang Teguh Karya.

Baca Juga: Profil dan Kiprah Perjalanan Karier Sutradara Kondang Hanung Bramantyo

Profil dan Latar Pendidikan

Lahir pada 22 September 1937 di Pandeglang, Banten, Teguh Karya merupakan anak pertama dari pasangan Laksana Karya (Tjon Hok) dan Naomi Yahya, yang berasal dari keturunan Tionghoa Indonesia. Masa kecilnya dihabiskan di Pandeglang, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan tingkat menengah. 

Ketertarikan Teguh Karya pada dunia seni mulai terasah saat ia menempuh pendidikan di Akademi Seni dan Indonesia (ASDRAFI), Yogyakarta pada 1954-1955. Kemudian, ia kembali ke Jakarta untuk belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada 1957 hingga 1961. 

Beliau juga diketahui pernah meraih beasiswa untuk belajar art direcrting di East–West Center, Universitas Hawaii, Honolulu pada 1963. Sepulangnya dari Amerika, Teguh Karya kembali ke Indonesia dan mengajar seni peran di ATNI pada 1964.

Tak hanya itu, beliau juga pernah mendapatkan pendidikan dan praktik pembuatan film dari Perusahaan Film Negara (PFN) pada awal 1960-an. Teguh juga diketahui aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia pada 1962.

Perjalanan Karier

Di tengah kesibukannya menempuh pendidikan, Teguh Karya memulai karir di bidang seni sebagai pemain drama pada pada 1957-1961. Saat itu, ia masih menggunakan nama lahirnya dan sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI.

Kemudian pada 1968, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem mendirikan bengkel teater, Teater Populer. Mengutip dari Tempo, dulu teater milik Teguh diberi nama Teater Populer Hotel Indonesia. 

Pencantuman nama “Hotel Indonesia” terjadi karena ia sempat bekerja di Hotel Indonesia sebagai penata artistik panggung Hotel Indonesia. Namun, namanya berubah menjadi “Teater Populer” sejak ia tak lagi bekerja di hotel beken tersebut. 

Teater Populer menjadi kebangaan Teguh Karya hingga akhir hayatnya sekaligus "kendaraan" seni yang berhasil melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan. Selain itu, teater ini juga berhasil memproduksi sejumlah drama, termasuk Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974).

Teguh pun mulai menapaki perjalanan kariernya di dunia film sejak melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara atau PPFN. Film pertama garapannya adalah film anak-anak, yang kemudian disusul dengan film Wadjah Seorang Laki-Laki pada 1971 sebagai penulis cerita, skenario, dan sutradara.

Baca Juga: Mengenal Sosok Yandy Laurens, Sutradara Film Sore yang Dijuluki 'Raja Drama Indonesia'

Dua tahun setelahnya, ia merilis Cinta Pertama, film yang membuka jalan gemilang dalam kariernya. Karya tersebut bukan hanya memberinya Piala Citra, tetapi juga mengawali perjalanan panjang Christine Hakim sebagai bintang besar Indonesia. Kesuksesan itu disusul oleh tiga film romansa lain seperti Ranjang Pengantin, Kawin Lari, dan Perkawinan dalam Semusim.

Puncak popularitas Teguh terjadi pada 1977 lewat film Badai Pasti Berlalu, adaptasi novel karya Marga T. Film ini berhasil menyedot perhatian lebih dari 200 ribu penonton saat penayangan perdana. Didukung musik ikonik dari Chrisye dan Berlian Hutauruk, film ini juga sukses meraih empat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1977.

Dua tahun berselang, ia kembali mencuri perhatian lewat film sejarah November 1828, yang di mana berhasil meraih enam Piala Citra. Deretan karya penting pun menyusul, termasuk Di Balik Kelambu, Secangkir Kopi Pahit, Doea Tanda Mata, Ibunda, hingga Pacar Ketinggalan Kereta.

Tak hanya aktif di layar lebar, Teguh juga menyutradarai sejumlah sinetron, salah satunya Pulang (1987). Pada 1995, ia juga menggarap serial Alang-Alang, yang diproduksi bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) serta Johns Hopkins University Population Communication Services.

Warisan & Kepergian

Setelah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya bagi teater dan perfilman Indonesia, perjalanan hidup Teguh Karya memasuki babak yang tak mudah. Pada 1998, sang maestro diketahui menderita stroke.

Penyakit yang diderita Teguh Karya membuatnya kehilangan ingatan dan harus duduk di kursi roda seumur hidup. Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 64 tahun di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo, Jakarta Pusat pada 11 Desember 2001.

Meski raganya telah tiada, warisan karyanya terus hidup dan menginspirasi generasi demi generasi. Sepanjang perjalanan kariernya, Teguh Karya telah menjadi sosok paling berpengaruh dalam sejarah perfilman Indonesia. Ia tercatat sebagai sineas dengan raihan Piala Citra terbanyak. 

Selain menjadi sutradara dengan penghargaan Sutradara Terbaik terbanyak yakni enam kemenangan dari sembilan nominasi, film-film garapannya juga paling sering dinobatkan sebagai Film Terbaik, sebanyak lima kali dari delapan nominasi. 

Baca Juga: Deretan Karya Yandy Laurens, Sutradara di Balik Film-film yang Menghangatkan Hati

Pada 1985, Teguh mencatat sejarah ketika dua filmnya sekaligus, yakni Doea Tanda Mata dan Secangkir Kopi Pahit masuk nominasi Sutradara Terbaik serta Film Terbaik. Namun, momen itu justru menjadi panggung kemenangan “muridnya”, Slamet Rahardjo, dengan film Kembang Kertas.

Warisan Teguh tak berhenti pada karya visual. Pada 2005, Twilite Orchestra menggelar konser penghormatan yang menampilkan lagu-lagu dari film-filmnya. Para pengisi termasuk sosok-sosok yang pernah ia arahkan, seperti Berlian Hutauruk, serta musisi ternama seperti Krisdayanti dan Ruth Sahanaya.

Hingga kini, nama Teguh Karya  tetap dielu-elukan. Dalam Festival Film Indonesia 2015 mendedikasikan tema besar “Tribute to Teguh Karya” sebagai penghormatan mendalam terhadap sang maestro, dan malam penganugerahan tahun itu digelar di Banten yang tak lain adalah tanah kelahirannya.