Karmaka Surjaudaja bukanlah sosok asing di industri perbankan Indonesia. Ia dikenal sebagai figur di balik berdiri dan besarnya PT Bank OCBC NISP Tbk.
Namun, jauh sebelum menapaki dunia perbankan, Karmaka menjalani hidup sederhana sebagai guru olahraga, guru les, sekaligus buruh pabrik tekstil di Majalaya. Ia tumbuh dari keterbatasan, ditempa kerja keras, dan melewati berbagai ujian hidup yang membentuk keteguhan karakternya.
Perjalanan hidup Karmaka berubah pada 1963, ketika sebuah telepon singkat dari Hong Kong membawanya masuk ke dunia perbankan. Ia dipercaya mengelola Bank NISP sebagai Direktur Operasional di tengah kondisi krisis. Berkat ketekunan, dedikasi, serta dukungan karyawan dan nasabah, Karmaka berhasil membawa bank tersebut melewati masa sulit hingga kembali bangkit.
Namun, Karmaka Surjaudaja wafat pada Senin, 17 Februari 2020, di Rumah Sakit Borromeus Bandung dalam usia 85 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi insan perbankan nasional yang mengenalnya sebagai pemimpin berintegritas.
Dan, dikutip dari berbagai sumber, Rabu (31/12/2025), berikut Olenka ulas profil dan kiprah mendiang Karmaka Surjaudaja selengkapnya.
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Penuh Ujian
Menurut buku Karmaka Surjaudaja: Tidak Ada yang Tidak Bisa karya Dahlan Iskan, Karmaka lahir di Hokja, Provinsi Fujian, Tiongkok, pada 29 April 1934, dengan nama Kwee Tjie Hoei. Ia adalah putra dari Kwee Tjie Kui, seorang guru yang dikenal disiplin dan menjunjung tinggi kejujuran.
Dikutip dari Kompas.id, sejak bayi, hidup Karmaka sudah diwarnai ujian berat. Pada usia 10 bulan, ia dibawa ibunya menyeberangi laut dari Tiongkok menuju Jawa untuk menyusul sang ayah di Bandung.
Setibanya di Pelabuhan Sunda Kelapa, bayi kecil itu menderita demam dan diare, penyakit yang kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda. Demi menyelamatkan nyawa istri dan anaknya, sang ayah harus mengumpulkan uang jaminan sebesar 500 gulden agar mereka diizinkan turun dari kapal.
Dikutip dari Tirto.id, ayah Karmaka lebih dulu menetap di Bandung setelah menerima tawaran mengajar di Hindia Belanda. Namun, ketenangan keluarga itu tidak berlangsung lama. Perang, banjir besar akibat jebolnya pintu air Cikapundung, serta krisis pangan memaksa keluarga Karmaka bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Mereka mengungsi, tinggal di gudang bawah tanah sebuah restoran, dan hidup dari sisa makanan pengunjung.
Sebagai anak tertua dari sembilan bersaudara, Karmaka memikul tanggung jawab besar sejak muda. Ia bekerja sambil bersekolah, menjajakan kue buatan ibunya, dan membantu menopang ekonomi keluarga agar adik-adiknya tetap bisa mengenyam pendidikan.
Pendidikan dan Awal Karier
Terinspirasi sang ayah, Karmaka memilih menjadi pendidik. Dikutip dari CNBC Indonesia, ia mengajar di Sekolah Dasar dan Menengah Nan Hua Bandung sejak pertengahan 1950-an. Namun penghasilan guru yang terbatas memaksanya menjalani tiga peran sekaligus: mengajar di pagi hari, bekerja sebagai buruh pabrik di siang hari, dan memberi les pada malam hari.
Dikutip dari Inilah.com, ketekunan itu menempa disiplin dan ketahanan mentalnya. Ia belajar memahami manusia, sistem, serta pentingnya kepercayaan, nilai yang kelak menjadi fondasi kepemimpinannya di dunia perbankan.
Kehidupan Pernikahan
Di sekolah tempatnya mengajar, Karmaka berkenalan dengan Liem Kwei Ing, murid yang kelak menjadi istrinya. Mereka menikah pada 1959. Ing adalah putri dari Lim Khe Tjie, pemilik Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (NISP), bank yang berdiri sejak 4 April 1941 dan tercatat sebagai salah satu bank tertua di Indonesia.
Setelah menikah, Karmaka diminta meninggalkan dunia pendidikan dan bekerja di pabrik tekstil NV Padasuka di Majalaya. Dikutip dari CNBC Indonesia, di sana ia dipercaya sebagai manajer efisiensi.
Berbekal pengalaman sebagai buruh, ia mampu memperbaiki sistem kerja dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Kariernya terus menanjak hingga menjabat posisi pimpinan di sejumlah perusahaan tekstil.
Dikutip dari Kompas.id, Karmaka dan sang istri dikaruniai empat anak, yaitu Pramukti, Rukita, Parwati, dan Sanitri Surjaudaja.
Telepon yang Mengubah Segalanya
Meski menjadi bagian dari keluarga pemilik bank, Karmaka sama sekali tidak tertarik terjun ke dunia perbankan. Dikutip dari Inilah.com, ia menolak terlibat karena merasa menjaga etika dan batas tanggung jawab.
Namun pada 1963, sebuah telepon dari Hong Kong mengubah segalanya. Dikutip dari CNBC Indonesia, sang mertua yang terjebak di luar negeri meminta Karmaka menyelamatkan Bank NISP yang tengah dilanda kekacauan internal.
Terungkap bahwa manajemen bank menjalankan promosi palsu tabungan berhadiah mobil sebagai kedok penyelewengan dana. Nama baik keluarga hancur, dan bank berada di ambang kehancuran.
Dan, demi menjaga kehormatan keluarga dan menyelamatkan kepercayaan nasabah, Karmaka pun akhirnya turun tangan.
Baca Juga: Mengenang Sosok Kartini Muljadi, Perempuan Visioner di Balik Kerajaan Tempo Scan
Membesarkan NISP dengan Taruhan Nyawa
Langkah Karmaka bukan tanpa risiko. Dikutip dari Tirto.id, ia pernah diculik, disekap, dan nyaris dibunuh oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Ia bahkan ditolak menduduki posisi strategis karena hanya lulusan SMA.
Alih-alih mundur, Karmaka memilih langkah tak lazim. Ia meminta mulai dari posisi kasir, jantung pengawasan arus uang. Ketekunan itu berbuah hasil. Penyelewengan terbongkar, aset pelaku disita, dan Karmaka berhasil menguasai 43 persen saham Bank NISP. Pada 1 Juni 1966, ia resmi diangkat sebagai Direktur Bank NISP.
Namun, ujian terberat datang pada 1965, ketika nilai uang dipangkas drastis dan ratusan bank gulung tikar. Dikutip dari Kompas.id, di tengah kepanikan nasional, Karmaka berhasil menjaga kepercayaan nasabah dan membawa NISP tetap berdiri.
Membangun Bank dengan Nilai Kepercayaan
Di tangan Karmaka, NISP terus bertumbuh. Bank ini menjadi bank komersial pada 1967, bank devisa pada 1990, dan melantai di bursa pada 1994. Ia menjabat Presiden Direktur (1971–1997) dan Presiden Komisaris (1997–2008).
Dikutip dari Kompas.com, prinsip utama dia adalah menjaga kepercayaan melalui pengawasan berlapis dan etika yang kuat. Masuknya Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) dari Singapura pada 2004 menandai babak baru. Sejak 2008, bank ini resmi bernama Bank OCBC NISP.
Penghargaan dan Kepedulian Sosial
Dikutip dari laman Finansialku.com, atas dedikasinya, Karmaka dianugerahi gelar Chairman Emeritus seumur hidup. Di luar perbankan, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.
Dan, dikutip dari Kompas.id, ia memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa lintas etnis, membantu pembangunan rumah ibadah berbagai agama, serta menjadi penggerak seni budaya Sunda.
“Saya ingin hidup ini berguna dan bisa berbuat kebaikan sebanyak mungkin untuk orang lain,” tutur Karmaka.
Kisah Hidup yang Diabadikan dalam Film
Perjalanan hidup Karmaka diangkat ke layar lebar lewat film Love & Faith (2015). Dikutip dari Bisnis.com, film ini dibintangi Rio Dewanto sebagai Karmaka dan Laura Basuki sebagai istrinya.
Film tersebut menggambarkan perjuangan, cinta, dan keberanian menghadapi korupsi serta kekacauan politik era 1960-an.
Akhir Perjalanan Karmaka Surjaudaja
Karmaka Surjaudaja wafat pada 17 Februari 2020 di Bandung dalam usia 85 tahun. Dikutip dari CNN Indonesia, Bank OCBC NISP menyebutnya sebagai sosok pemimpin yang rendah hati, bersahaja, dan berintegritas.
Dan, dikutip dari Kompas.com, salah satu anak Karmaka, Pramukti Surjaudaja, menyebut bahwa kunci keberhasilan perusahaan adalah menjaga kepercayaan nasabah. Ia menjelaskan bahwa manajemen Bank NISP selalu berpegang pada prinsip kesehatan, profesionalisme, etika, dan rentabilitas.
Saat ini, Pramukti Surjaudaja sendiri menjabat sebagai Presiden Komisaris OCBC NISP, sementara Parwati Surjaudaja, putri Karmaka, menjabat sebagai Presiden Direktur sekaligus CEO Bank OCBC NISP.
Baca Juga: Mengenang Sosok Pendiri Merek Legendaris Teh Botol Sosro, Soegiharto Sosrodjojo