Kontribusi Monumental

Kontribusi Hera yang paling monumental terjadi pasca Bom Kedutaan Besar Australia (2004). Dikutip dari Merdeka.com, diketahui saat itu tubuh pelaku hancur menjadi serpihan sehingga mustahil diidentifikasi dengan metode biasa.

Kala itu, Hera bekerja sama dengan Pusdokkes Polri mengembangkan teknik Disaster Perpetrator Identification (DPI), sebuah strategi baru yang mengombinasikan analisis DNA dengan prediksi trajektori ledakan. Hanya dalam kurang dari dua minggu, identitas pelaku berhasil diungkap. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya laboratorium DNA forensik di Indonesia dan mengantar Hera menerima Habibie Award 2008.

Tak berhenti di situ, selama lebih dari 15 tahun, Hera juga diketahui melakukan perjalanan ke puluhan pulau untuk memetakan variasi genetik lebih dari 130 etnis. Dikutip dari Kompas, riset ini dilakukan untuk memahami keterkaitan genetik antar kelompok, kerentanan terhadap penyakit, dan dasar pengembangan pengobatan presisi di Indonesia.

Salah satu temuan paling menarik adalah hubungan genetik antara Indonesia dan Madagaskar. Dikutip dari publikasinya bersama peneliti Selandia Baru, AS, dan Prancis, pencocokan DNA dari 2.745 sampel Indonesia dan 266 sampel Madagaskar menunjukkan motif genetik yang sama, menandai adanya nenek moyang orang Indonesia dalam populasi Madagaskar.

Penghargaan

Selama kariernya, Hera telah menerima beragam penghargaan ilmiah bergengsi. Ia meraih Toray Foundation Research Award pada 1991–1992, disusul TWAS Award pada 1992 dan penghargaan Riset Unggulan Terpadu pada 1993–1996.

Atas kontribusinya di bidang forensik, ia memperoleh Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian pada 2007. Tahun berikutnya, ia dianugerahi Habibie Award serta Australian Alumni Award for Scientific Research and Innovation.

Pengakuan publik juga datang melalui SheCan Award pada 2009 dan apresiasi sebagai Cendekiawan Berdedikasi Kompas pada 2019. Ia kemudian terpilih sebagai Australia Alumni of the Year pada 2020 dan masuk daftar Tatler Most Influential pada 2025, menegaskan reputasinya sebagai salah satu ilmuwan paling berpengaruh di Indonesia.

Sisi Personal

Dikutip dari Tatler Asia, Hera percaya bahwa sains bukan pekerjaan, melainkan panggilan. Ia menolak stereotip bahwa peneliti adalah orang yang ‘kering’, dingin, atau jauh dari kehidupan sosial. Ia menyukai fashion, budaya, dan menata ruang kerjanya dengan gaya kolonial klasik.

Dikutip dari Pesona.co.id, ia pun menggambarkan pekerjaan laboratorium sebagai ‘scientific art’, sebuah seni yang ia sebut memerlukan kepekaan, intuisi, dan disiplin.

Kini, lebih dari 70 publikasi ilmiah internasional, ratusan presentasi di forum global, dan ribuan sampel genom manusia Indonesia menjadi jejak yang ia tinggalkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini.

Herawati pun menaruh keyakinan bahwa memahami genetika membantu manusia memahami pluralitas. Ia membuka peta genetika Nusantara bukan untuk memisahkan, melainkan untuk menyatukan.

Baca Juga: Mengenal Sosok Inggrid Tania, Dokter dan Pakar Herbal Indonesia