Indonesia memiliki banyak ilmuwan berprestasi di kancah internasional, namun sedikit yang memiliki pengaruh sebesar Herawati Supolo Sudoyo. Profesor biologi molekuler yang akrab disapa Hera ini dikenal luas sebagai pelopor DNA forensik di Indonesia sekaligus peneliti yang membuka peta genetika manusia Nusantara.

Dari laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, tempat ia mengabdi selama hampir tiga decade, Hera memimpin sejumlah riset fundamental tentang keragaman genetik dan asal-usul populasi Indonesia. Karyanya tidak hanya mengungkap jejak migrasi manusia di kepulauan ini, tetapi juga memperkaya pemahaman tentang siapa kita sebagai bangsa.

Lantas, siapa sebenarnya Herawati Supolo Sudoyo, dan bagaimana perjalanan panjang karier yang membawanya menjadi salah satu ilmuwan paling berpengaruh di Indonesia?

Dikutip dari berbagai sumber, Senin (17/11/2025), berikut ulasan Olenka mengenai profil dan kiprah ilmiahnya.

Latar Belakang Keluarga

Dikutip dari laman tokoh.id, Herawati lahir di Pare, Kediri, 2 November 1951. Ia tumbuh dalam keluarga dengan disiplin tinggi, dimana ayahnya adalah seorang tentara, sementara ibunya adalah mahasiswi hukum yang berhenti kuliah setelah menikah.

Sejak kecil, Hera ingin menjadi arsitek. Namun, ketika mendaftar ke Institut Teknologi Bandung, ia terhalang urusan administrasi dan akhirnya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Meski awalnya tidak bercita-cita menjadi dokter atau peneliti, dorongan ayah dan dinamika keluarga mengarahkan Hera pada jalur akademik yang kelak membawanya menjadi salah satu ilmuwan paling berpengaruh di Indonesia.

Hera diketahui menikah dengan Dr dr Aru Sudoyo, SpPD KHOM pada tahun kedua kuliah dan dikaruniai dua anak, yakni Ruby Gautama Sudoyo dan Panji Nindya Putra Sudoyo, yang kemudian juga ia bawa ketika melanjutkan studi doktoral di Australia.

Pendidikan dan Fondasi Akademik

Herawati merupakan seorang ilmuwan dan profesor di bidang biologi. Ia memulai studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Pada tahun 1977, ia berhasil memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.

Setelah menyelesaikan gelar Sarjana tersebut, Herawati kemudian melanjutkan studi lanjutan ke jenjang Magister di Pascasarjana Universitas Indonesia. Selama menjalani pendidikannya, Herawati semakin mendalami bidang biomedis dan ilmu kesehatan.

Pada tahun 1985, ia menyelesaikan pendidikan S2 dengan gelar Magister Biomedis (M.Biomed). Setelah itu, Herawati melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3 di Monash university, Australia, di Departemen Biokimia. Pada tahun 1990, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Biokimia/Biologi Molekuler.

Ketertarikannya pada biologi molekuler muncul saat ia memilih jalur praklinis, karena ingin tetap dekat dengan keluarganya. Di Monash, ia mendalami penyakit akibat kelainan membran transduksi energi, khususnya mitokondria.

Jejak Karier

Herawati memulai karier akademiknya pada 1978 sebagai staf pengajar di Bagian Biologi FKUI. Momentum besar datang ketika BJ Habibie memanggil Prof. Sangkot Marzuki untuk menghidupkan kembali Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada tahun 1992. Dikutip dari Kompas, Sangkot pun kemudian mengajak Hera bergabung sebagai salah satu pendiri.

Hera kemudian mendirikan dan memimpin Laboratorium DNA Forensik pertama di Indonesia, sekaligus menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga Eijkman sejak 1992 hingga 2021. Ia juga memimpin Unit Identifikasi DNA Forensik pada periode 2004–2021 dan membangun Pusat Genom Indonesia pada tahun 2018 dari kelompok riset yang sebelumnya ia bentuk.

Selain berkiprah di dunia penelitian, Hera menjadi pengajar di PTIK, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Diponegoro. Dikutip dari Tempo, ia juga menjabat sebagai Deputi Riset Fundamental Eijkman dan peneliti utama pada Laboratorium Keanekaragaman Genom dan Penyakit.

Dikutip dari CISDI.org, sejak 2022 Hera juga menjabat sebagai Senior Scientist sekaligus Principal Investigator di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), memimpin Komisi Ilmu Kedokteran di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta menyandang gelar Honorary Associate Professor dari University of Sydney.

Ia juga menjadi pendiri dan penasihat berbagai organisasi kunci dalam bidang genetika dan keamanan hayati, termasuk Asia Pacific Society of Human Genetics (APSHG), Indonesian Society of Human Genetics (InaSHG), Indonesian Genomic Association (AGI), serta Indonesian Biorisk Association yang ia dirikan dan pimpin pertama kali.

Dalam diplomasi kesehatan global, Hera mewakili Indonesia di United Nations Biological Weapons Convention pada 2008–2015, berperan dalam sejumlah forum keamanan biologis di kawasan ASEAN, dan menjadi konsultan WHO untuk Dual Use Research of Concern pada tahun 2020.

Selain itu, ia dikenal sebagai advokat kuat bagi perempuan di bidang STEM dan telah menjadi juri L’Oréal–UNESCO For Women in Science selama lebih dari lima belas tahun.

Baca Juga: Mengenal Sosok Pratiwi Sudarmono, Ilmuwan Indonesia yang Nyaris Mengangkasa

Kontribusi Monumental

Kontribusi Hera yang paling monumental terjadi pasca Bom Kedutaan Besar Australia (2004). Dikutip dari Merdeka.com, diketahui saat itu tubuh pelaku hancur menjadi serpihan sehingga mustahil diidentifikasi dengan metode biasa.

Kala itu, Hera bekerja sama dengan Pusdokkes Polri mengembangkan teknik Disaster Perpetrator Identification (DPI), sebuah strategi baru yang mengombinasikan analisis DNA dengan prediksi trajektori ledakan. Hanya dalam kurang dari dua minggu, identitas pelaku berhasil diungkap. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya laboratorium DNA forensik di Indonesia dan mengantar Hera menerima Habibie Award 2008.

Tak berhenti di situ, selama lebih dari 15 tahun, Hera juga diketahui melakukan perjalanan ke puluhan pulau untuk memetakan variasi genetik lebih dari 130 etnis. Dikutip dari Kompas, riset ini dilakukan untuk memahami keterkaitan genetik antar kelompok, kerentanan terhadap penyakit, dan dasar pengembangan pengobatan presisi di Indonesia.

Salah satu temuan paling menarik adalah hubungan genetik antara Indonesia dan Madagaskar. Dikutip dari publikasinya bersama peneliti Selandia Baru, AS, dan Prancis, pencocokan DNA dari 2.745 sampel Indonesia dan 266 sampel Madagaskar menunjukkan motif genetik yang sama, menandai adanya nenek moyang orang Indonesia dalam populasi Madagaskar.

Penghargaan

Selama kariernya, Hera telah menerima beragam penghargaan ilmiah bergengsi. Ia meraih Toray Foundation Research Award pada 1991–1992, disusul TWAS Award pada 1992 dan penghargaan Riset Unggulan Terpadu pada 1993–1996.

Atas kontribusinya di bidang forensik, ia memperoleh Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian pada 2007. Tahun berikutnya, ia dianugerahi Habibie Award serta Australian Alumni Award for Scientific Research and Innovation.

Pengakuan publik juga datang melalui SheCan Award pada 2009 dan apresiasi sebagai Cendekiawan Berdedikasi Kompas pada 2019. Ia kemudian terpilih sebagai Australia Alumni of the Year pada 2020 dan masuk daftar Tatler Most Influential pada 2025, menegaskan reputasinya sebagai salah satu ilmuwan paling berpengaruh di Indonesia.

Sisi Personal

Dikutip dari Tatler Asia, Hera percaya bahwa sains bukan pekerjaan, melainkan panggilan. Ia menolak stereotip bahwa peneliti adalah orang yang ‘kering’, dingin, atau jauh dari kehidupan sosial. Ia menyukai fashion, budaya, dan menata ruang kerjanya dengan gaya kolonial klasik.

Dikutip dari Pesona.co.id, ia pun menggambarkan pekerjaan laboratorium sebagai ‘scientific art’, sebuah seni yang ia sebut memerlukan kepekaan, intuisi, dan disiplin.

Kini, lebih dari 70 publikasi ilmiah internasional, ratusan presentasi di forum global, dan ribuan sampel genom manusia Indonesia menjadi jejak yang ia tinggalkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini.

Herawati pun menaruh keyakinan bahwa memahami genetika membantu manusia memahami pluralitas. Ia membuka peta genetika Nusantara bukan untuk memisahkan, melainkan untuk menyatukan.

Baca Juga: Mengenal Sosok Inggrid Tania, Dokter dan Pakar Herbal Indonesia