Industri kecantikan di Indonesia tengah mengalami dinamika yang begitu cepat. Pergeseran tren makeup dan skincare tidak hanya dipengaruhi faktor estetika, tetapi juga perubahan perilaku konsumen, perkembangan teknologi, hingga pemanfaatan data.
Hal ini diungkapkan oleh Amanda Melissa, VP Data Management & Business Intelligence Social Bella, yang menilai pasar kecantikan di Indonesia semakin cerdas, variatif, dan menantang.
Amanda menyebut, faktor utama yang mendorong perubahan tren kecantikan adalah meningkatnya literasi konsumen. Jika dulu label 'brightening' saja sudah cukup menarik minat, kini konsumen datang dengan pertanyaan yang lebih spesifik.
“Konsumen itu semakin lebih pintar ketika mencari produk kecantikannya. Dulu cukup dengan label brightening. Sekarang mereka bisa tanya, ‘Mbak, moisturizer yang ada centella mana? Atau serum dengan niacinamide yang mana?’ Pintar banget tuh. Dan itu impact-nya post-COVID, ketika brand ramai beriklan dan sosmed makin aktif,” ungkap Amanda, saat Press Conference Kick-Off Sociolla Award 2025, di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Perempuan yang akrab disapa Mandy ini lantas menuturkan, dalam kurun 2–3 tahun, konsumen Indonesia berubah drastis. Mereka tidak hanya menuntut produk skincare, tapi juga body care, hair care, hingga makeup dengan fungsi tambahan.
“Sekarang cushion misalnya, bukan hanya untuk menutupi jerawat, tapi juga dituntut bisa menyembuhkan tanpa menimbulkan jerawat baru,” tukasnya.
Selain literasi, sambung Amanda, perubahan demografi juga memberi warna pada industri kecantikan. Generasi muda seperti Gen Z membawa kebutuhan berbeda dengan Gen Y, Gen X, atau bahkan konsumen usia 30 tahun ke atas yang lebih mapan secara finansial.
“Indonesia memang negara dengan demografi muda. Tapi generasi yang 30 tahun ke atas, yang punya daya beli kuat, juga makin besar. Sementara Gen Z baru masuk pasar dengan preferensi berbeda. Jadi market makin ramai, makin seru,” jelas Amanda.
Amanda melanjutkan, perubahan ekonomi pun semakin terlihat. Segmen harga produk tidak lagi hanya terbagi dua, yakni murah dan premium, melainkan melebar ke banyak lapisan. Amanda bilang, dari masker Rp100 ribu, cushion Rp300 ribu–Rp500 ribu, hingga produk dengan harga jutaan, semua punya pasarnya masing-masing.
“Sekarang ke toko Sociolla bisa pusing, karena banyak banget pilihannya. Itu menandakan market kita berkembang cepat,” katanya.
Baca Juga: Sociolla Dorong Pertumbuhan Brand Lokal dan Perluas Jangkauan di Indonesia