Bicara wanita terkaya di Indonesia, tidak akan lengkap jika tak menyebut nama Kartini Mulyadi. Dia adalah sosok di balik Tempo Scan Group yang sebelumnya juga dikenal sebagai The Tempo Group. Kelompok usaha ini bergerak di bidang usaha utama manufaktur & pemasaran produk farmasi, produk nutrisi, produk konsumen & kosmetika, jasa distribusi & logistik, serta properti dan jasa keuangan.
Pada tahun 2007, Kartini berada di peringkat ke-28 daftar orang Indonesia terkaya versi Forbes dengan kekayaan sebesar US$260 juta. Pada tahun 2008, wanita kelahiran 17 Mei 1930 ini menempati peringkat ke-32 dengan kekayaan sebesar US$130 juta. Di tahun 2019, dia berada di peringkat ke-48 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sebesar US$630 juta; menjadikannya wanita dengan peringkat teratas pada daftar tersebut. Sementara itu, di tahun 2021, kembali masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia, kekayaan Kartini Mulyadi tercatat mencapai US$695 miliar atau setara dengan Rp10 triliun.
Baca Juga: Mulai dari Nol hingga Jadi Pengusaha Sukses, Begini Kisah Sukses Hermanto Tanoko
Terjun di Dunia Hukum
Lahir dengan nama Pauline Fanny Kho pada tanggal 17 Mei 1930 di Kabupaten Roma Karanganyar (sekarang Kebumen), Karesidenan Kedu, Hindia Belanda, Kartini Muljadi merupakan anak dari pasangan Budi Tjahono dan Marianne Han. Ayahnya berdarah Jawa (Kebumen)-Tionghoa, sedangkan ibunya memiliki darah Belanda. Saat ibunya meninggal ketika Pauline berusia sekitar 2,5 tahun, ayahnya menikah dengan seorang wanita keturunan Tionghoa.
Dari ibu sambungnya tersebut, Kartini muda mendapatkan pelajaran dalam berbisnis serta mendapat dorongan dari ayahnya untuk menabung uang. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ada dorongan untuk etnis Tionghoa guna mengadopsi nama Indonesia. Ayah Pauline mengubah namanya dari Kho (Xu dalam bahasa Tiongkok) menjadi Budi Tjahjono, sedangkan Pauline Fanny Kho mengubah namanya menjadi Kartini. Muljadi didapatnya karena menikahi suaminya, Djojo Muljadi (Liem Tjing Hien, 1915-1973).
Kartini menjadi salah satu anak non-Belanda yang beruntung bisa belajar di sekolah Eropa. Sejak muda, cita-citanya adalah menjadi hakim dan mendapat dukungan penuh dari ayahnya yang bekerja sebagai Kepala Pembukuan di Algemene Nederlandsch Indische Electriciteit Maatchappij (kini Perusahaan Listrik Negara). Merasakan perbedaan perlakukan bagi murid Belanda dan non-Belanda ketika bersekolah, Kartini makin bersemangat menjadi hakim guna memperjuangkan keadilan.
Dia lantas melanjutkan pendidikan tinggi di dua universitas, yakni di Surabaya dan Yogyakarta, kemudian pindah ke Jakarta. Kartini mengambil jurusan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia (UI) dan berhasil menyandang gelar sarjana hukum pada 1958. Dia telah mempunyai dua orang anak saat menyandang gelar sarjana. Selama kuliah, Kartini telah membantu masyarakat dengan memberikan jasa hukum gratis, salah satunya saat tergabung dalam perhimpunan Sosial Tjandra Naya. Ia juga sempat melanjutkan studi Ilmu Kenotariatan di UI pada tahun 1967.