Lepas dari pandemi Covid-19, perusahaan di Indonesia diharapkan mempercepat peningkatan kinerja setelah dalam beberapa tahun terakhir terkena tekanan. Meski masih ditemui sejumlah kendala, pengusaha masih melihat besarnya potensi di Indonesia pada tahun 2024 ini.
Hal tersebut disampaikan Shinta Kamdani selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dalam media briefing, Kamis (18/1/2024). Shinta menerangkan bahwa banyak perusahaan Indonesia mendapat scaring effect akibat Covid-19. Saat itu, perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak uang dari revenue yang didapatkan. Banyak perusahaan memiliki utang jauh lebih tinggi dan mengalami pengurangan modal yang cukup signifikan.
"Kami melakukan survei ke 2.000 perusahaan dan kami memberikan masukan kepada pemerintah. Memang, perusahaan banyak memiliki kendala. Namun, optimisme itu masih ada," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Shinta merespons laporan Alvarez & Marsal (A&M) dalam A&M Distress Alert (ADA) yang menyebut bahwa sebanyak 44% emiten di Indonesia perlu perbaikan. Disebutkan, ada tiga sektor yang paling terdampak, yakni sektor Pertambangan Logam & Non-Batubara, Ritel & Transportasi, dan Infrastruktur & Konstruksi.
"A&M menunjukkan sektor mana yang sebenarnya kena distress, seperti mining, infrastructure, dan transportation. Yes. Namun, di 2024, berdasarkan data yang kami kumpulkan, diharapkan ketiga sektor tersebut jadi sektornya Indonesia, mereka akan menjadi leading sector. Kalau diproyeksikan, seperti pertambangan dan mining, 10 persen dari PDB Indonesia dihasilkan dari situ," terangnya.
Shinta menekankan, "Mungkin secara capture, kondisi perusahaan di Indonesia sama dengan apa yang disampaikan dalam laporan ini, tapi faktor domestik maupun global sangat memengaruhi."
Lewat laporan berjudul "Indonesia A&M Distress Alert: Indonesian Companies Remain Under Stress Despite Post-Covid Recovery", A&M menjelaskan bahwa 44% dari emiten di Indonesia perlu melakukan perbaikan. Di antaranya, 19 persen membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9 persen perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14 persen membutuhkan perbaikan secara simultan di kedua area tersebut.
Faktor utama yang menyebabkan tekanan tampaknya adalah neraca keuangan dan struktur modal yang melemah, bukan karena kinerja operasional yang terganggu. Terutama, 22 persen dari perusahaan yang mengalami tekanan pada tahun 2022 memiliki skor ketahanan neraca yang rendah tiga tahun sebelumnya, tren yang mengkhawatirkan diperparah oleh kondisi suku bunga yang tinggi saat ini, yang menimbulkan tantangan serius bagi perusahaan untuk mencari pembiayaan baru.