Nama Dewi Lestari Simangunsong atau Dee Lestari sudah lama dikenal dalam dunia sastra dan musik Indonesia. Ia bukan hanya penulis buku laris atau penyanyi dengan lagu terkenal, tetapi juga kreator yang aktif berkarya di berbagai bidang dan selalu menjaga makna serta kejujuran dalam setiap karyanya.
Publik mengenalnya lewat seri novel Supernova yang sangat populer, lagu ‘Malaikat Juga Tahu’ yang masih dikenang hingga kini, serta berbagai karya yang memadukan sastra, musik, dan film. Karya-karya tersebut membentuk ciri khas Dee Lestari yang kuat dan berpengaruh.
Sebelum dikenal sebagai novelis ternama, Dee lebih dulu berkarier di dunia musik sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi (RSD). Pengalaman panjang di berbagai bidang seni inilah yang membentuknya menjadi sosok kreatif yang matang, berani mencoba hal baru, dan setia pada proses berkarya.
Lantas, seperti apa sosok Dee Lestari sebenarnya? Dikutip dari berbagai sumber, Senin (15/12/2025), berikut ulasan Olenka tentang perjalanan hidup dan kiprah Dee Lestari.
Latar Belakang Keluarga
Dikutip dari laman deelestari.com, Dewi Lestari Simangunsong lahir pada 20 Januari 1976 sebagai anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Yohan Simangunsong (alm) dan Tiurlan br Siagian (alm). Lingkungan keluarga Dee kental dengan atmosfer seni dan kreativitas.
Tiga saudara perempuannya juga aktif di dunia seni dengan jalur masing-masing. Key Mangunsong, kakak sulungnya, dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario. Imelda Rosalin, kakak keduanya, adalah pianis dan penyanyi jazz.
Sementara adik bungsunya, Arina Ephipania, dikenal luas sebagai vokalis band indie-pop Mocca. Jadi, tak berlebihan sepertinya jika dikatakan bahwa seni adalah bahasa ibu dalam keluarga Dee Lestari.
Pendidikan
Dikutip dari Tirto.id, Dee menempuh pendidikan formal di Bandung. Ia bersekolah di SDN Banjarsari III, SMPN 2 Bandung, dan SMAN 2 Bandung. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan, Bandung, dan meraih gelar Sarjana Ilmu Politik dari jurusan Hubungan Internasional.
Meski tidak secara langsung berkaitan dengan sastra atau musik, latar pendidikan ini membentuk cara berpikir Dee yang reflektif, kritis, dan kaya perspektif, sesuatu yang terasa kuat dalam karya-karyanya.
Kehidupan Pribadi
Dalam kehidupan pribadinya, Dee pernah menikah dengan penyanyi Marcell Siahaan pada 12 September 2003. Dari pernikahan ini, lahir seorang putra bernama Keenan Avalokita Kirana pada 5 Agustus 2004. Pernikahan tersebut berakhir pada 2008.
Dee kemudian menikah dengan Reza Gunawan, seorang pakar penyembuhan holistik, pada 11 November 2008 di Sydney. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putri, Atisha Prajna Tiara.
Namun, duka mendalam menyelimuti Dee ketika sang suami wafat akibat stroke pada 6 September 2022. Pengalaman kehilangan ini pun kelak memengaruhi nuansa reflektif dalam karya-karya Dee di tahun-tahun berikutnya.
Perjalanan Awal Menulis
Dikutip dari Bukunesia.com, kecintaan Dee pada menulis telah tumbuh sejak usia 9 tahun. Ia bahkan pernah membayangkan berjalan ke toko buku dan menemukan buku karyanya terpajang di rak. Imajinasi itu ia wujudkan dengan menulis di buku tulis biasa, seolah-olah itulah buku pertamanya.
Saat remaja, Dee mulai mengirim cerpen ke majalah, meski kerap berujung penolakan. Ia sempat frustasi, namun tak berhenti menulis. Dari honor menyanyi, ia membeli laptop pertamanya, alat yang kelak menjadi saksi lahirnya banyak karya penting.
Baca Juga: Mengenang Nh. Dini, Sastrawan Perempuan Berpengaruh sekaligus Pelopor Sastra Feminis Indonesia
Karier Musik
Dikutip dari Viva dan Tirto.id, Dee telah aktif bermusik sejak SD melalui grup vokal, paduan suara, dan band sekolah. Setelah lulus SMA pada 1993, ia memulai karier profesional sebagai penyanyi latar untuk musisi besar seperti Iwa K, Java Jive, Project Pop, Harvey Malaiholo, dan Chrisye.
Tahun 1994 menjadi titik penting ketika Dee bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti membentuk trio Rida Sita Dewi (RSD). Bersama RSD, Dee merilis album Antara Kita (1995), Bertiga (1997), Satu (1999), dan The Best of RSD (2002).
Sebagai solois, Dee merilis album berbahasa Inggris Out of Shell (2006), disusul album Rectoverso (2008) yang melahirkan lagu ikonis “Malaikat Juga Tahu”. Album ini menegaskan identitas Dee sebagai musisi sekaligus penulis lirik yang puitis dan jujur.
Karya Buku Dee Lestari
Dikutip dari laman Gramedia, perjalanan kepenulisan Dee Lestari terbentang panjang dan konsisten sejak awal 2000-an hingga kini. Ia membuka jejaknya lewat Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (2001), yang disusul Supernova: Akar (2002) dan Supernova: Petir (2004), menandai lahirnya sebuah saga sastra yang memadukan filsafat, sains, dan spiritualitas.
Eksplorasi itu berlanjut melalui kumpulan cerpen dan prosa Filosofi Kopi (2006), lalu berbelok ke ranah romansa reflektif lewat Perahu Kertas (2009) dan kumpulan cerita Madre (2011).
Dee kemudian kembali merajut semesta Supernova melalui Partikel (2012), Gelombang (2014), hingga mencapai puncaknya di Inteligensi Embun Pagi (2016), yang kemudian dirayakan kembali dalam Kepingan Supernova (2017).
Babak baru pun hadir lewat Aroma Karsa (2018) dengan dunia penciuman yang unik, sebelum ia menutup dekade ini melalui trilogi Rapijali: Mencari, Menjadi, dan Kembali (2021), yang menegaskan kematangan Dee Lestari sebagai penulis yang terus bereksperimen, tanpa kehilangan kedalaman rasa dan gagasan.
Karya terbaru Dee Lestari hadir melalui Tanpa Rencana, sebuah antologi yang dirilis pada akhir 2024 dan memperlihatkan fase kepenulisan yang semakin hening, reflektif, sekaligus matang. Dikutip dari Detik, Tanpa Rencana merupakan antologi keempat Dee, dengan judul yang merepresentasikan proses kreatifnya yang organik dan intuitif.
Sebanyak 18 cerita di dalamnya diperkaya ilustrasi yang memperdalam kesan, menghadirkan perenungan tentang hidup, kematian, kehilangan, dan spiritualitas dengan gaya tutur yang renyah, lincah, dan menyentuh, menegaskan kemampuan Dee Lestari meramu kesederhanaan bahasa menjadi pengalaman batin yang mendalam bagi pembacanya.
Kemudian, melansir dari Instagram @deelestari, ia juga baru-baru ini menerbitkan buku Selaras, sebuah karya kolaboratif yang sarat makna bersama mendiang sang suami, Reza Gunawan.
Filmografi dan Adaptasi Layar Lebar
Kekuatan cerita Dee Lestari tak hanya hidup di halaman buku, tetapi juga menemukan napas baru di layar lebar. Sejumlah karyanya sukses diadaptasi menjadi film, mulai dari Perahu Kertas (2012) yang menghidupkan romansa Kugy dan Keenan, Rectoverso (2013) dengan kisah cinta yang puitis, Madre (2013) yang hangat dan reflektif, hingga Supernova (2014) yang membawa semesta pikirannya ke ranah sinema.
Jejak itu berlanjut lewat Filosofi Kopi (2015) dan sekuelnya (2017) yang meraih popularitas luas, serta Ben & Jody (2022) sebagai pengembangan semesta ceritanya. Tak sekadar menjadi penulis sumber, Dee juga terlibat langsung dalam proses kreatif film-film tersebut, mulai dari penulisan skenario hingga pengisian lagu tema, menegaskan perannya sebagai seniman multidisiplin yang merawat utuh visi karyanya dari teks hingga layar.
Baca Juga: Profil Leila S. Chudori, Jurnalis Senior yang Menghidupkan Sejarah Lewat Laut Bercerita
Fakta Menarik Dee Lestari
Dikutip dari laman Gramedia, perjalanan kreatif Dee Lestari sarat dengan fakta-fakta menarik yang memperkaya pembacaan atas karya-karyanya. Sebelum dikenal luas sebagai penulis, Dee lebih dulu mengawali karier di dunia musik sebagai penyanyi, sebuah latar yang kelak memengaruhi ritme dan kepekaan emosional dalam tulisannya.
Ia juga menyebut ruang menulisnya sebagai ‘batcave’, ruang personal yang tak selalu menetap dan bisa berpindah-pindah mengikuti kebutuhan kreatifnya. Banyak cerita yang lahir dari pengalaman personal, diolah dengan imajinasi dan refleksi mendalam, sehingga terasa dekat sekaligus kontemplatif.
Menariknya, nama Keenan dalam Perahu Kertas pun terinspirasi dari nama anaknya, menunjukkan bagaimana kehidupan pribadi Dee kerap berkelindan secara halus dengan dunia fiksi yang ia bangun.
Penghargaan
Dikutip dari laman resmi pribadinya, deelestari.com, deretan penghargaan sastra yang diraih Dee Lestari menjadi penanda kuat konsistensi dan kedalaman kualitas karyanya sepanjang lebih dari dua dekade.
Ia berulang kali dinobatkan sebagai Book of The Year IKAPI Awards, masing-masing lewat Aroma Karsa (2018) dan Supernova: Intelegensi Embun Pagi (2016), sekaligus meraih Anugerah Pembaca Indonesia sebagai Penulis Favorit dan Buku Favorit, sebuah pengakuan ganda dari industri dan pembaca.
Kiprahnya juga mendapat legitimasi kritikus melalui pencapaiannya di Khatulistiwa Literary Award, mulai dari Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh hingga Perahu Kertas dan Filosofi Kopi, yang bahkan dinobatkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 versi Majalah Tempo.
Penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atas Madre serta pengakuan sebagai The Most Influential Person in Publishing di IDEA FEST 2017 semakin menegaskan posisi Dee Lestari bukan hanya sebagai penulis laris, tetapi juga sebagai sosok sentral yang membentuk arah dan dinamika sastra Indonesia kontemporer.
Di dunia musik, Dee juga mencatatkan prestasi lewat nominasi Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards), Piala Maya, hingga MTV Indonesia Awards, membuktikan konsistensinya sebagai pencipta lagu yang kuat secara artistik.
Tak berhenti di situ,Dee juga menyabet berbagai penghargaan lintas sektor. Ia diakui sebagai figur perempuan inspiratif melalui berbagai apresiasi prestisius, mulai dari The 10 Iconic Women 2016 dan Marketeers Women Award 2016, hingga masuk dalam daftar Top 99 Most Influential Women versi Globe Asia Magazine selama beberapa tahun berturut-turut.
Pengaruh sosial dan kepemimpinannya juga tercermin ketika Dee dinobatkan sebagai Penulis Perempuan yang Paling Diminati Masyarakat versi Litbang Media Indonesia pada 2009, serta menerima The Most Outstanding Woman (Anugerah Pelangi) dari Kantor Berita Antara dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Sejak awal kariernya, ia telah dilihat sebagai sosok dengan daya pikir kreatif dan keberanian bereksplorasi, terbukti lewat penghargaan seperti A Playful Mind Award dan Fun Fearless Female.
Konsistensi tersebut akhirnya mengantarkan Dee Lestari ke jajaran Most Powerful Women Leaders versi Richtopia, menegaskan perannya sebagai ikon perempuan Indonesia yang berpengaruh, visioner, dan memberi dampak nyata bagi masyarakat luas.
Tips Menulis dari Dee Lestari
Dikutip dari Detik Hot, Dee Lestari juga pernah membagikan sejumlah nasihat penting bagi penulis muda yang ingin menerbitkan novel, berangkat dari pengalamannya sebagai penulis produktif sekaligus juri kompetisi sastra.
Ia menegaskan bahwa kunci utama sebuah novel adalah menyelesaikan cerita hingga tuntas, karena karya baru bisa dinilai jika memiliki akhir yang jelas, seberapa pun menarik ide dan penceritaannya.
Selain itu, kerapian tata bahasa dan tanda baca menjadi kesan pertama yang menentukan, sementara teknik penceritaan memegang bobot terbesar untuk mengikat pembaca, editor, maupun juri agar bersimpati pada karakter.
Kemudian, Dee juga menekankan pentingnya disiplin ide dan disiplin karya, yakni percaya pada gagasan sekaligus menghormati waktu menulis lewat ritual yang konsisten.
Sementara itu, dikutip dari Liputan6com, dikatakan Dee, bobot terberat saat menulis adalah pada teknik penceritaan, terutama bagaimana penulis memperkenalkan karakter secara hidup dan memikat agar pembaca bersimpati. Dan bagi Dee, perpaduan antara cerita yang selesai, bahasa yang rapi, dan teknik bercerita yang kuat adalah fondasi utama novel yang mampu bertahan dan berkesan.
Baca Juga: Mengenang Marga T, Ikon Sastra Populer Indonesia yang Abadi Lewat Karmila dan Badai Pasti Berlalu