Beberapa waktu lalu, tumbler Corkcicle jadi fenomena yang viral di media sosial. Betapa tidak? Jika botol minum biasa harganya hanya berkisar puluhan sampai ratusan ribu saja, namun untuk memiliki Corkcicle ini kamu perlu menyiapkan budget mulai dari Rp500 ribu sampai hampir Rp1 jutaan.
Harganya yang di atas rata-rata harga tempat minum lain membuat botol ini disebut sebagai tumbler Sultan dan dijuluki sebagai botol minum khas ‘anak SCBD’. Saking mahalnya, harga Corkcicle pernah dibandingkan dengan harga penampungan air berkapasitas seribu liter di media sosial X (Twitter).
Di Amerika sendiri, Corkcicle menuai kesuksesan dengan hasil penjualan pertamanya mencapai 300.000 unit. Corkcicle juga dinobatkan sebagai produk baru terbaik di New York International Gift Fair 2011.
Lalu, di tahun 2012, penjualannya kembali melonjak mendapatkan review positif dari Martha Stewart dan Oprah Winfrey, sehingga sering dijadikan sebagai kado di Amerika Serikat.
Nah, tren Corkcicle di Amerika Serikat inilah yang membuat warga Indonesia penasaran. Terlebih karyawan-karyawan kantoran yang rata-rata membawa tumbler ke kantor tertarik untuk membeli Corkcicle.
Lantas, siapa sebenarnya pemilik Corkcicle, dan apa yang membuatnya produk ini laku di pasaran? Berikut Olenka ulas selengkapnya.
Sejarah dan Sosok di Balik Corkcicle
Ben Hewitt merupakan sosok di balik kesuksesan Corkcicle. Sejarah Corkcicle sendiri dimulai pada tahun 2011 ketika Hewitt sedang berkendara menuju pantai dengan sebotol anggur merah yang terlalu hangat. Saat itu, tercetus di pikirannya untuk menjaga minuman dingin tanpa merusak rasa.
Hewitt pun mulai merancang prototipe pertama Corkcicle yang menggunakan batang es tahan beku dengan lapisan gel yang aman untuk makanan. Hal ini ia lakukan untuk memberikan solusi yang lebih baik daripada menggunakan kantong es atau botol dengan kemasan es.
Hewitt akhirnya membeli tabung reaksi uline dan kompres es gel dari Publix. Isi bungkus gel tersebut ia masukkan ke dalam tabung dan meletakkan gabus di atasnya. Setelah dibekukan, ia memasukkan alat tersebut ke dalam botol wine dan membuat wine tetap dingin selama sekitar satu jam. Eksperimen sederhana itu ternyata berhasil.
Hewitt lalu menunjukkan kreasinya kepada Stephen Bruner, ahli pemasaran yang pernah bekerja dengannya, dan Eric Miller, manajer penjualan di sebuah perusahaan teknologi medis.
Meski, prototipe tersebut belum sempurna, karena hanya mampu menahan suhu selama satu jam. Namun, Bruner dan Miller langsung tertarik untuk bermitra dengan Hewitt. Mereka pun kemudian menyarankan agar Hewitt mengubah produk tersebut menjadi seperti kristal es.
Hewitt pun mengikuti saran tersebut dan meminta seorang engineer untuk menata ulang desain dan mengkoordinasikan manufaktur di China. Bahkan, malam itu Bruner meneleponnya untuk sebuah ide nama yang akan diberikan pada produk tersebut.
Adapun, nama Corkcicle terinspirasi dari produk pertama mereka, yaitu pendingin wine dalam botol. Pendingin wine tersebut terlihat seperti es (icicle) dengan gabus anggur (wine cork) di atasnya. Bagi Bruner, sangat menyenangkan menyebut tiga kata tersebut dengan cepat.
Dari sana, Corkcicle kemudian menjadi perusahaan resmi. Corkcicle pun mulai memasuki pasar sekitar 9 bulan setelah Hewitt membuatnya. Lebih dari 1 juta botol telah terjual, dan perusahaan mencapai profitabilitas di tahun pertama. Kini, Corkcicle sudah tersedia di sekitar 4.000 toko AS (dan di 10 negara lainnya).
Produk yang terdiri dari tumbler, gelas anggur tanpa batang, mug, dan sedotan tumbler yang diciptakan oleh Hewitt benar-benar dapat digunakan kembali, sehingga para konsumennya tidak merasa dirugikan dengan harga produk yang dibanderol mulai dari ratusan hingga hampir Rp1 juta.
Baca Juga: Kisah Keluarga Riady Terapkan Meritokrasi di Lippo Group