Kisah sukses Dato Sri Tahir memang menjadi inspirasi bagi beberapa orang. Ia merupakan salah satu tokoh filantropis di Indonesia yang juga pemilik dari beberapa unit usaha di bawah holding company Mayapada Group.
Mayapada Group merupakan hasil dari sebuah keuletan dan kegigihan Tahir dalam merintis bisnis. Meski Tahir memiliki hubungan keluarga dengan Mochtar Riady (mertua Tahir), namun Mayapada adalah sebuah bisnis yang berhasil dibangun oleh seorang Tahir, bukan karena ada hubungan keluarga.
Suatu hal yang mencengangkan lagi adalah seluruh lini bisnis yang dilahirkannya menuai kesuksesan luar biasa. Bahkan, Ia masuk ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia ke-7 menurut Forbes per Agustus 2024 dengan mengantongi harta kekayaan hingga $5,2 miliar (Rp84,34 triliun).
Namun siapa sangka, di balik kesuksesannya tersebut, pria yang memiliki nama asli Ang Tjoen Ming yang lahir di Surabaya, 26 Maret 1952 ini mengakui dirinya memiliki insecurity complex lantaran ia tumbuh besar melihat orang tuanya menghadapi banyak tekanan. Tahir kecil pun sering merasa minder karena dihina dan diejek orang lain.
Melihat anaknya sedari kecil dan remajanya hidup penuh perjuangan, ayah Tahir, Ang Boen Ing, pun akhirnya mengganti nama Ang Tjoen Ming menjadi Tahir.
Melalui pena Alberthiene Endah dalam buku berjudul Living Sacrifice, menantu Mochtar Riady ini pun menceritakan kisah pergantian namanya dari Ang Tjoen Ming menjadi Tahir.
Gak cuma itu, dalam buku biografi Tahir ini, ia pun menceritakan secara gamblang bagaimana rasanya menjalani fase remaja yang berbeda dari teman-teman seusianya yang lain.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Masuk Keluarga Konglomerat Mochtar Riady
Pribadi yang Selalu Merasa Rendah Diri
Sejak remaja, Tahir dan ayahnya menjalani peran sebagai saudagar atau pedagang. Ia terbilang ulet mengembangkan relasi untuk membantunya melariskan jualannya. Ia tak segan melakukan pendekatan ke sejumlah supplier dan pedagang di sekitar tempatnya tinggal.
Namun, di balik sifat kerja keras dirinya, Tahir selalu merasa hidupnya monoton, membosankan, dan melelahkan. Betapa tidak, anak-anak usianya dulu kerap menghabiskan waktunya dengan menghadiri sederet pesta dansa, pergi kencan, memainkan lagu-lagu The Beatles dan berbagai musik keras, sementara dirinya harus bergelut dengan dagangannya, sibuk mengatur rencana belanja serta menghitung keuntungan usaha.
Ia mengaku, tidak bisa menikmati masa remaja seperti yang lainnya, melainkan selalu berada di rumah bersama keluarganya.
“Saya tidak punya banyak waktu untuk mengabdi pada kehidupan sosial. Mengapa saya tidak bisa seperti anak muda lainnya? Kesadaran ini kemudian muncul di benak saya sebagai dampak kuat dari masa kecil saya, yaitu rasa rendah diri,” papar Tahir.
Hingga akhirnya tanpa Tahir sadari, meski perekonomian keluarganya membaik sehingga ia bisa memakai pakaian dan sepatu berkualitas, dan pada akhirnya keluarganya memiliki mobil, Tahir tetap selalu merasa rendah diri.
“Saya ingat beberapa gadis di sekolah sepertinya selalu berusaha menarik perhatian saya. Tapi, saya tidak bisa menanggapinya. Setiap saat saya melihat mereka, bayang-bayang masa lalu selalu bergulir di pikiran, dan saya jatuh kembali ke dalam kondisi rendah diri yang parah,” jelas Tahir.
Tahir mengaku, rasa rendah diri yang ia rasa hadir karena ia tidak siap menghadapi risiko dihina. Akhirnya, ia pun tak mengindahkan perhatian gadis-gadis di sekolahnya tersebut, dan memilih fokus pada aktivitas bisnis keluarganya.
“Kehidupan rutin terkadang memang membuat bosan, tetapi saya tidak dapat menemukan cara hidup yang lebih baik dari itu,” ujar Tahir.
Filosofi Nama Baru Tahir
Seperti diketahui, Tahir bersama orang tuanya tinggal di sebuah bangunan bekas markas pertahanan pejuang lokal, di Jl. Bunguran No 19 Surabaya. Mereka berbagi rumah tersebut bersama 2 keluarga sahabat sang ayah, yakni Tan Boen Tjoe dan Lie.
“Dua keluarga tinggal di rumah yang sama. Di situasi ini kemudian menyebabkan insiden emosional,” papar Tahir.
Hingga suatu saat, di penghujung tahun 1960-an, Tahir mendengar perbincangan orang tuanya terkait rencananya membeli rumah. Ia pun senang mendengar rencana tersebut. Menurutnya, memiliki rumah sendiri berarti status mereka pun jelas, tidak harus berbagi dengan keluarga lain.
Selain itu, rumah yang orang tua Tahir tinggali sebelum Tahir lahir pun kerap memantik masalah, karena berulang kali asosiasi pengusaha Bond Betjak mengklaim bangunan tersebut sebagai milik mereka.
“Hal tersebut membuat kami sangat gelisah. Saya tidak tahu kapan orang tua saya akan membeli rumah baru atau dimanapun rumah baru itu akan dibangun. Yang saya ingat dengan baik adalah saya semakin sibuk melakukan pekerjaan trading saya,” tutur Tahir.
Tahir mengatakan, di rumah di Jl. Bunguran No 19 Surabaya itu, ia tumbuh menjadi seorang pedagang. Keluarganya pun telah menempuh perjalanan jauh sejak bertahun-tahun berinteraksi dengan tukang becak. Tak ada lagi tawuran antara sang ibu, Lie Tjien Lien, dengan tukang becak yang berujung pelemparan batu.
“Kami telah sampai pada kehidupan yang mapan dan damai di tempat yang memberi kamu kemakmuran,” ujar Tahir.
Sejak saat itu, kata dia, nama Tionghoanya berubah menjadi Tahir. Sesederhana itu, hanya satu kata.
“Saya sangat menyukainya karena mudah diingat dan tidak rumit. Meski awalnya canggung, orang tua saya berusaha membiasakan memanggil dengan nama Tahir,” aku Tahir.
Tahir mengatakan, terkait pergantian namanya sendiri sebenarnya banyak orang Tionghoa mengubah nama mereka di berbagai belahan dunia sekitar tahun 1960-an. Hal ini menurutnya tantangan tersendiri, karena hal itu membuatnya harus mengingat nama-nama baru dari orang-orang yang sudah ia kenal cukup lama.
Lebih lanjut, ia pun menceritakan makna di balik sang ayah memberi nama Tahir. Saat itu, kata Tahir, sang ayah memanggilnya dan mengatakan bahwa ia akan memberitahukan tentang arti nama yang diberikan.
“Sekarang kamu punya nama baru. Nama ini akan melekat padamu seumur hidupnya. Itu nama khas Indonesia,” ujar Tahir menirukan ucapan sang ayah kala itu.
Saat itu, Tahir mengaku ia menatap sang ayah dan tak yakin dengan arah ucapannya. Namun, menurut sang ayah, nama Tahir yang diberikannya memiliki arti bahwa saat ini dia adalah benar-benar orang Indonesia.
“Dengan nama baru ini, artinya kamu benar-benar orang Indonesia. Bahkan dari sebelum aku bersumpah untuk menghabiskan hidupku di negeri ini, aku sudah menjadi orang Indonesia sepenuhnya tanpa keraguan. Memang keluargaku ada di Fujian, dan aku masih bicara dengan Bahasa Mandarin dengan ibumu. Tapi, aku mencintai negara ini dan aku bersedia memberikan hidupku untuk tanah ini,” paparTahir menirukan kalimat yang diucapkan ayahnya dulu.
Saat ayahnya mengucapkan kalimat itu, kata Tahir, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Menurutnya, sang ayah pun memintanya agar nama baru Tahir menjadi monumen dan simbol menjadi warga negara Indonesia sejati.
“Saat itu papah bilang, saya harus jadi orang Indonesia seutuhnya, gak setengah-tengah. “kamu lahir di sini, kamu besar di sini, dan suatu saat nanti kalau kamu sukses kamu akan tahu dengan siapa sebaiknya kamu membagi rezekimu dengan Indonesia’,” jelas Tahir mengulang perkataan ayahnya saat itu.
Setelah mendengar perkataan ayahnya itu, Tahir menarik napas dalam-dalam. Ia pun mengaku terpesona dengan pikiran sang ayah yang mendalam.
“Papah bilang juga, kita tidak hanya mencari uang dan nafkah di sini, tapi kita juga harus mengakar di sini. Saya pun mengangguk mendengar ucapan papah itu,” tutur Tahir.
Lebih lanjut, Tahir mengatakan jika sang ayah juga berkata bahwa Indonesia telah berbaik hati memberikan keluarganya kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya sang ayah pun ingin Tahir jangan menganggap dirinya orang Cina. Namun, sang ayah ingin Tahir menganggap dirinya sebagai orang Indonesia.
“Anggaplah dirimu orang Indonesia sebagaimana adanya hatimu di sini dan di tempat lain. Tanah inilah yang telah memberimu kesempatan untuk bertahan hidup,” begitu pesan sang ayah kepada Tahir.
Dikatakan Tahir, dialog yang mengesankan antara ayahnya dan dirinya itu terus menerus diingatnya sepanjang hidupnya.
“Saya lahir di sini, besar di sini, dan akan berakhir di sini. Di sela-sela itu saya juga akan berbagi kehidupan saya di sini (Indonesia),” ujar Tahir.
Tahir juga bilang, dialog dengan ayahnya tersebut menjadi salah satu faktor yang menjadi akar pandangannya mengenai perjuangan dirinya dalam membangun bisnis.
“Nama Cina saya Ang Tjoen Ming, mata saya sipit, dan kulit putih saya adalah unsur-unsur yang Tuhan berikan kepada orang-orang oriental. Namun, hati yang tidak berwujud fisik adalah sumber sesuatu yang lebih berprinsip dalam menentukan pikiran seseorang. Saya orang Indonesia luar dalam,” tegas Tahir.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Mengurus Kebun Binatang Ragunan
Prinsip Bisnis Tahir
Kekayaan dan pencapaian Tahir saat ini adalah buah kerja kerasnya sejak dulu. Tahir dikenal sebagai pengusaha yang tidak mudah menyerah. Berasal dari keluarga yang kurang berada, mental Tahir pun ditempa dalam membangun bisnis.
Tahir pun mengatakan bahwa sejak kecil dirinya sudah memiliki keinginan kuat untuk memberantas kemiskinan. Hal tersebut tampaknya yang juga menjadi alasan akan tujuan hidup yang dimilikinya.
Tahir bilang, jika kita mau jadi orang yang luar biasa maka harus punya kebiasaan yang di luar kebanyakan orang. Begitu prinsip yang dimilikinya. Ia mengatakan sangat memperlakukan diri sendiri dengan disiplin.
Gak cuma itu, Tahir juga mengatakan, kedua orang tuanya adalah mentor hidupnya. Dalam membangun bisnis, kata Tahir, dirinya pun meyakini prinsip bisnis tidak akan pernah lepas dari visi dan tanggung jawab.
“Saya tidak percaya kalau bisnis adalah hobi yang bertujuan untuk menyenangkan hati. Bisnis adalah tanggung jawab saya terhadap kehidupan, terhadap orang-orang yang saya sayangi, dan terhadap hal-hal yang ingin saya sumbangkan,” ujar Tahir.
“Oleh karena itu, saya pun rela melalui proses yang sulit. Setelah bekerja keras dimotivasi oleh tanggung jawab, saya mulai membidik target yang lebih tinggi yaitu visi. Saya bertujuan untuk menjadi pengusaha visioner,” papar Tahir.
Tahir lantas mengatakan bahwa ada beberapa kategori orang terkait pekerjaan dan tanggung jawab. Beberapa orang yang bekerja karena hasrat dan hobi, bisa dikatakan menjadi diri sendiri, menurut Tahir adalah kategori ini paling berisiko dan paling rendah tingkat kesulitannya.
“Bekerja dengan mengikuti kata hari menurutnya menyebabkan etika kerja menjadi kendur. Tidak ada kewajiban untuk meninggalkan zona nyaman dan merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh pertarungan,” tukas Tahir.
Kemudian, kategori kedua adalah orang-orang yang melakukan pekerjaannya karena tanggung jawab.
“Di sini, seseorang harus melepaskan diri dari rasa malas dan memaksakan diri untuk bekerja keras, menjaga disiplin yang tinggi, dan menerapkan etos kerja yang ketat, tidak mudah mengeluh ketika menghadapi kesulitan dalam proses kerja,” terang Tahir.
Dan kategori ketiga, lanjut Tahir, adalah orang-orang yang bekerja karena termotivasi oleh visi dan tanggung jawabnya. Dalam pandangan Tahir, kategori ini adalah tingkat perjuangan tertinggi yang diperlukan di tempat kerja.
Orang-orang pada level ini, kata Tahir, mampu bekerja dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang kuat, yang menyempurnakannya dengan kemampuan melihat lebih jauh dari apa yang bisa dilihat orang lain.
“Saya tidak menyesal sama sekali telah menghabiskan masa muda saya mengikuti jejak dan arahan orang tua saya untuk melakukan trading sepanjang waktu. Saya tidak merasa rugi karena tidak memiliki apa yang mereka sebut sebagai hobi atau passion,” tandas Tahir.
Terima Gelar Dato Sri
Berbicara mengenai nama, ternyata Dato Sri merupakan gelar kehormatan yang diterima Tahir dari Sultan Pahang, Malaysia. Tahir menerima gelar tersebut sejak Mei 2010 silam.
Gelar tersebut diberikan Kesultanan Pahang sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi Tahir kepada masyarakat Malaysia. Ketika itu, Tahir berkontribusi besar kepada masyarakat sekaligus membantu menyelesaikan konflik perusahaan yang terjadi.
Gak cuma itu, Tahir juga menerima gelar profesor dari Lingnan College, Sun Yat-Sen University untuk periode Oktober 2011 hingga September 2014. Pada tahun 2011 Tahir mendapatkan penghargaan Chancellor's Citation dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat atas kepemimpinan yang luar biasa dalam bisnis dan pengabdiannya dalam kegiatan filantropi dan pelayanan kepada masyarakat.
Tahir juga tercatat sebagai orang Asia pertama yang menjadi anggota Wali Amanat University of California (UC) Berkeley, AS. Tahir diberikan penghargaan Entrepreneur of the Year 2011 dari Ernst & Young dan penghargaan di bidang pendidikan oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (2011).
Tahir kembali memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2016 dan ditetapkan menjadi anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2017.
Nah Growthmates, setelah melihat bagaimana Tahir menjalani hidup jadi makin tergambarkan kalau jadi sukses memang tidak mudah ya. Namun, selalu masih ada waktu untuk belajar dan berjuang kembali. Tentunya makna sukses tiap orang berbeda. Semoga kamu bisa mengambil sisi luar biasa dari Dato Sri Tahir ini, ya!
Baca Juga: Makna dan Peran Becak dalam Kehidupan Dato Sri Tahir