Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla menjadi salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam meredam konflik Aceh. Konflik karena serangan yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu sudah mulai berkecamuk pada 1976 dan baru berakhir pada 2005 atas kerja keras berbagai pihak termasuk Jusuf Kalla. 

Dalam beberapa kesempatan, Jusuf Kalla mengisahkan perjalanan panjang untuk menyudahi konflik berdarah itu. Memang tidak gampang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai dalam konflik tersebut , ada sederet tantangan berat yang merintangi.

Baca Juga: Duduk Perkara Sengketa Lahan 16,4 Hektare Jusuf Kalla vs Lippo Group

Dari tantangan yang ada, Jusuf Kalla mengakui ada satu tantangang yang sangat sukar dilewati, namun tantangan itu juga menjadi penentu berhasil tidaknya menyudahi konflik GAM dan pemerintah Indonesia yang diwakili Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tantangan tersebut adalah soal membangun kepercayaan satu sama lain, GAM ketika itu tidak sepenuhnya percaya kepada pemerintah, juga sebaliknya, TNI tidak begitu saja yakin kepada GAM.  

“Pada saat kita akan mendamaikan, melaksanakan perdamaian di Aceh. Hal yang paling susah ialah bagaimana kita percaya ke pihak GAM  Dan GAM percaya kepada kita,” kata Jusuf Kalla dalam sebuah kesempatan dilansir Olenka.id Kamis (18/12/2025). 

Bertindak sebagai mediator, peran Jusuf Kalla jelas sangat besar, tanggung jawabnya juga tak kecil, kegagalan mendamaikan pertikaian ini bakal menjadi noda yang semakin mencoreng wajah pemerintah, publik bakal melihat ini sebagai kegagalan pemerintah merangkul warga negaranya. 

Jusuf Kalla sendiri sebetulnya sangat yakin pada komitmen GAM yang  bersedia meletakan senjata lalu berdamai dengan pemerintah dan kembali mengakui NKRI, namun di sisi lain TNI dan sebagian masyarakat masih waswas, jangan sampai komitmen damai itu hanya akal-akalan belaka, bisa jadi itu adalah jebakan. 

Di sini Jusuf Kalla mesti bekerja ekstra, di satu sisi ia harus berjibaku meyakinkan pemerintah dan masyarakat Indonesia, di sisi lain ia juga berjuang keras meyakinkan GAM yang juga menaruh kecurigaan yang sama 

“Saya melaksanakan proses itu yang pertama, yang kritik kepada orang, apakah anda percaya kepada GAM? Sebenarnya saya percaya. Tapi meyakinkan orang bahwa saya percaya itu yang paling susah. Tentara mengatakan, bagaimana mereka nanti kalau punya senjata? Dan tidak, kalau damai pasti tidak menyerang lagi,” ujarnya. 

“Orang yang bertanya, bagaimana mereka bisa dipercaya sedangkan tiap hari mereka menyerang? Tidak, saya bilang. Begitu dia berdamai, kita akan tidak menyerang. Tapi sebaliknya pihak GAM mengatakan, apakah kita percaya tentara? Dia datang disini untuk membunuh orang,” tambahnya. 

Dengan segala upaya Jusuf Kalla akhirnya bisa meyakinkan kedua belah pihak, hal ini kata dia bukan soal skill negosiasi atau kecerdasaan menjadi mediator, untuk meyakinkan kedua belah pihak yang bertikai kata Jusuf Kalla perlu ada komitmen untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan, kelihatannya gampang, namun ini menjadi poin yang paling sulit dalam menyudahi konflik di Aceh. 

Baca Juga: Deretan Bisnis Milik Jusuf Hamka, Bos Jalan Tol yang Gemar Berbagi

“Begitu sulitnya menjaga kepercayaan itu. Dan saya berada di tengah antara dua kepercayaan itu. Saya harus menjamin bahwa kita akan melaksanakan amanah itu. Dan saya harus menjamin bahwa pihak gam akan percaya apa yang kita lakukan. Itulah unsur yang paling sulit dalam proses itu sebenarnya,” ucapnya.

Soerang pemimpin kata Jusuf Kalla, tidak bisa hanya bertindak sebagai penengah, pemimpin harus menaruh kepercayaan besar kepada semua pihak, dengan begitu pihak lain juga bakal menaruh keyakinan yang sama, dan itu yang dilakukan Jusuf Kalla dalam menyudahi konflik Aceh.

"Membina kepercayaan pertama yang harus dilakukan pemimpin adalah mempercayai orang lain. Pemimpin tugas pertama pemimpin adalah mempercayai orang lain. Karena hanya dengan mempercayai orang lain, mempercayai bawahan, bawahan akan percaya sama kita,"pungkasnya.