Komoditas karet merupakan salah satu sumber devisa utama sekaligus penopang kehidupan jutaan petani kecil di Indonesia. Negeri ini menempati posisi kedua produsen karet alam terbesar di dunia setelah Thailand.
Pada tahun 2023, produksi karet alam nasional tercatat sekitar 2,24 juta ton. Meskipun angka ini belum kembali ke puncak produksi sebelumnya, kontribusinya tetap signifikan dalam menopang ekspor dan pendapatan masyarakat di sentra-sentra kebun karet.
Namun demikian, sektor karet rakyat masih menghadapi tantangan struktural yang tidak ringan. Produktivitas yang rendah, penyusutan luas lahan, dan ketergantungan tinggi pada ekspor bahan mentah menjadi persoalan utama.
Data menunjukkan bahwa areal perkebunan karet yang dikelola petani (perkebunan rakyat) terus menyusut. Pada tahun 2023, luasnya tercatat hanya 2.850 ribu hektare, turun sekitar 12,65% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3.263 ribu hektare (BPS). Penurunan ini mencerminkan lemahnya insentif dan kepastian usaha di tingkat petani.
Produktivitas tanaman karet Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara pesaing. Menurut data resmi, hasil panen rata-rata hanya sekitar 1,025 ton per hektare pada tahun 2019 dan sekitar 1,05 ton per hektare pada 2023. Angka ini jauh lebih rendah dari produktivitas di Thailand atau Vietnam. Salah satu penyebab utamanya adalah usia tanaman yang sudah tua di mana banyak di antaranya berumur lebih dari 20 hingga 30 tahun, serta rendahnya adopsi teknologi pertanian modern. Tanpa intervensi yang serius, peluang untuk mendorong produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan petani akan terus menipis.
Mendorong Nilai Tambah
Luas areal pertanaman karet Indonesia pernah mencapai kisaran 3,5 hingga 3,8 juta hektare pada awal dekade ini. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren ini menunjukkan penurunan tajam. Sebagian besar lahan karet, khususnya yang dikelola petani kecil, beralih ke komoditas lain seperti kelapa sawit yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi. Akibatnya, produksi karet nasional pada 2023 turun hampir 17 persen dibanding tahun sebelumnya, dan hal ini patut menjadi perhatian serius pemerintah.
Di tengah menyusutnya areal dan turunnya produksi, kebutuhan industri global terhadap bahan baku karet tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sayangnya, struktur industri karet nasional masih sangat bergantung pada ekspor bahan mentah dan setengah jadi. Sekitar 80 persen karet alam Indonesia diekspor dalam bentuk crumb rubber, sheet rubber (RSS), atau latex concentrate.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor karet alam Indonesia tahun 2023 mencapai 1,75 juta ton dengan nilai sekitar 2,48 miliar dolar AS. Artinya, hampir seluruh hasil produksi nasional langsung mengalir ke pasar luar negeri tanpa melalui proses hilirisasi yang berarti.
Ketergantungan pada pasar ekspor ini menimbulkan risiko besar, terutama bagi petani. Harga yang mereka terima sangat ditentukan oleh fluktuasi pasar global. Ketika harga dunia turun, petani menjadi pihak pertama yang merasakan dampaknya. Pada akhir 2023, harga karet di tingkat petani hanya sekitar Rp8.000 per kilogram, jauh di bawah biaya produksi yang ideal.
Rendahnya harga ini tentu tidak cukup untuk menopang kehidupan petani dan membuat usaha bertanam karet semakin tidak menarik. Dalam kondisi demikian, banyak petani mempertimbangkan untuk mengganti komoditas atau meninggalkan sektor ini sama sekali.
Volatilitas harga karet di pasar dunia memang tergolong tinggi dan kerap dipengaruhi oleh banyak faktor. Fenomena iklim ekstrem seperti El Niño berulang kali menyebabkan kekeringan berkepanjangan yang menurunkan produksi karet. Meski sebuah kajian Bank Mandiri memperkirakan bahwa El Niño 2023 hanya menurunkan produksi Indonesia sekitar 2 persen, dampak psikologis terhadap pasar dan spekulasi harga tetap besar.
Selain itu, gangguan rantai pasok akibat pandemi, konflik geopolitik, dan kebijakan perdagangan negara tujuan turut memperparah gejolak pasar. Dalam situasi seperti ini, petani yang mengandalkan lahan tua dengan produktivitas rendah akan makin tertekan dan rentan keluar dari mata rantai produksi.
Jika kondisi ini dibiarkan, risiko terbesarnya adalah semakin menyusutnya kebun karet rakyat dan hilangnya generasi petani karet di masa depan. Banyak di antara mereka mulai berpaling ke kelapa sawit yang dianggap lebih stabil secara ekonomi, atau bahkan meninggalkan sektor pertanian sepenuhnya.
Ini bukan hanya ancaman terhadap keberlanjutan komoditas strategis nasional, tetapi juga terhadap stabilitas sosial-ekonomi di daerah sentra karet. Oleh karena itu, memperkuat perlindungan petani kecil dan mendorong nilai tambah karet melalui hilirisasi industri menjadi agenda yang tidak bisa ditunda lagi.
Strategi Komprhensif ke Depan
Menghadapi kompleksitas industri karet saat ini, dibutuhkan strategi komprehensif yang berpihak pada petani dan berorientasi pada penciptaan nilai tambah. Sekitar 90% areal karet nasional diusahakan oleh petani kecil sehingga perlindungan dan pemberdayaan mereka menjadi kunci. Akses terhadap harga yang wajar dan informasi pasar harus dijamin.
Salah satu pendekatan yang telah terbukti efektif adalah penguatan kelembagaan petani melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB). Saat ini, lebih dari 450 UPPB telah tersebar di berbagai sentra produksi, menyerap sekitar 15% produksi nasional dan memberi harga 10–15% lebih tinggi dibandingkan tengkulak. Selain memperbaiki posisi tawar, UPPB juga membantu menjaga mutu sesuai standar ekspor, termasuk regulasi terbaru seperti EU Deforestation-free Regulation.
Di sisi lain, peningkatan produktivitas mutlak diperlukan melalui intensifikasi teknologi dan peremajaan kebun. Usia kebun yang menua dan praktik budidaya yang belum efisien masih menjadi tantangan. Peremajaan dengan klon unggul tahan penyakit serta penerapan good agricultural practices (GAP) seperti pemupukan tepat dosis perlu diperluas.
Dalam konteks kenaikan harga pupuk, dukungan subsidi dan pelatihan teknik budidaya modern menjadi sangat penting. Jika produktivitas petani bisa ditingkatkan ke level 1,5–2 ton per hektare sebagaimana dicapai Vietnam dan Thailand maka kesejahteraan petani pun akan meningkat. Sejak 2019, pemerintah telah memfasilitasi peremajaan ribuan hektare lahan melalui bantuan benih unggul dan sarana produksi lainnya.
Langkah strategis selanjutnya adalah percepatan hilirisasi dan diversifikasi produk. Saat ini, sebagian besar karet Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan baku setengah jadi. Padahal, potensi nilai tambah sangat besar jika diolah di dalam negeri. Pemerintah telah mendorong penggunaan crumb rubber untuk infrastruktur jalan melalui program Demand Promotion Scheme, serta mengeksplorasi potensi baru seperti biomassa dari batang karet dan bioenergi dari limbah kebun.
Inovasi produk seperti seismic rubber bearing dan rubber canal blocking pun telah terbukti memberi manfaat teknis dan ekonomi. Namun agar hilirisasi berhasil, diperlukan sinergi lintas sektor, dari pemerintah pusat dan daerah hingga pelaku industri, investor, dan lembaga riset untuk membangun ekosistem pengolahan yang kokoh.
Saatnya karet Indonesia tak hanya diregangkan ke pasar global, tapi benar-benar merekatkan kesejahteraan bangsa.