Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara merespons dugaan peretasan yang menyasar 6 juta data nomor pokok wajib pajak (NPWP) termasuk data pribadi milik dirinya.

Dia mengatakan, peretasan yang menyasar data-data pribadi ini bukan sebuah peristiwa baru, kejadian seperti ini kerap berulang, bahkan hal yang sama juga lazim terjadi di luar negeri.

Baca Juga: Pramono Anung: Saya Smart Kayak Mas Anies Dibanding Ahok

“Peristiwa seperti ini kan juga terjadi di negara-negara lain yang semuanya,” kata Jokowi dilansir Jumat (20/9/2024).

Menurutnya, ada beberapa hal yang bikin data-data pribadi kerap menjadi sasaran para peretas.

Salah satunya adalah pengaturan kata sandi yang gampang dibobol, hal lain yang memicu peristiwa ini kata dia adalah menyimpan data pribadi di beberapa database yang berbeda.

“Semua data itu mungkin karena keteledoran password, bisa terjadi atau karena penyimpanan data yang juga terlalu banyak di tempat-tempat yang berbeda-beda bisa, menjadi ruang untuk diretas untuk hacker masuk,” ujarnya.

Jokowi mengaku telah mendapat informasi dugaan peretasan tersebut, dirinya sudah memerintahkan stakeholder terkait untuk segera menindaklanjuti kejadian ini.

"Iya, saya sudah perintahkan Kominfo maupun Kementerian Keuangan untuk memitigasi secepatnya, termasuk BSSN untuk memitigasi, secepatnya," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, hacker Bjorka mengaku telah menguasai 6 juta data NPWP. Data yang diduga bocor tersebut termasuk milik Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, dan sejumlah menteri. Data yang bocor itu dijual seharga US$ 10.000 di situs web Breach Forum.

Menyikapi hal itu, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini masih melakukan pemeriksaan untuk melihat dugaan kebocoran data tersebut.

Baca Juga: Cerita Jokowi Lolos dari Upaya Pemakzulan Setelah Merebut 51 Persen Saham Freeport

“Saya sudah meminta dirjen pajak dan seluruh pihak di Kementerian Keuangan untuk melakukan evaluasi terhadap persoalannya,” kata Sri Mulyani di gedung DPR, Kamis (19/9/2024).