Founder Pojok Sosial Ekologi, Ica Wulansari, mengatakan abrasi dan penurunan permukaan tanah di Kota Jakarta terjadi akibat masifnya pembangunan sejak tahun 1960-an silam.

Gedung-gedung pencakar langit sekaligus perumahan di Kota Jakarta yang menyedot air tanah menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Kondisi abrasi dan penurunan permukaan tanah diperburuk oleh pertumbuhan kepadatan populasi penduduk di Kota Jakarta.

Dosen Universitas Paramadina ini menjelaskan, kepadatan populasi di Jakarta tak terlepas dari status kota ini sebagai pusat ekonomi, bisnis, politik, hingga pemerintahan.

“Bagaimana kondisi Jakarta saat ini bisa diidentifikasi sebagai megacity, sebagai kota yang kemudian menjadi penyangga dari kota-kota sekelilingnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, kemudian populasinya padat, kemudian datang ke Jakarta untuk konteks ekonomi kepentingan pekerjaan yang akhirnya juga menjadi salah satu penyebab terjadinya abrasi,” kata Ica Wulansari kepada Olenka.

Salah satu wilayah yang paling terdampak adalah Jakarta Utara, terutama karena kedekatannya dengan kawasan pesisir dan Kepulauan Seribu. Keberadaan hutan mangrove seharusnya dapat menjadi benteng alami terhadap abrasi. Namun kenyataannya, keberadaan mangrove di wilayah ini tidak cukup kuat untuk meredam dampak abrasi akibat tekanan pembangunan yang masif.

Mangrove, sebagai makhluk hidup, memerlukan ruang tumbuh yang stabil dan lingkungan yang bersih untuk berkembang. Pembangunan fisik yang terus meluas di wilayah pesisir mengancam ruang hidup mangrove. 

Baca Juga: Ancaman Abrasi di Utara Jakarta

Ditambah lagi dengan permasalahan sampah, khususnya marine debris atau sampah plastik di perairan, yang memperburuk kondisi ekosistem mangrove dan menghambat pertumbuhannya.

Faktor lain yang turut memperparah abrasi adalah perilaku masyarakat dan model pembangunan yang masih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek.