Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menapaki perjalanan yang teramat sukar untuk sampai pada posisinya sekarang ini.
Laki-laki kelahiran Banda Neira, Maluku 48 tahun silam itu bukanlah siapa-siapa di masa lalu, lahir di tengah keluarga yang serba keterbatasan ekonomi, Bahlil kecil mesti berjuang sekuat tenaga untuk sekedar menyambung hidup.
Pendapatan sang ayah yang bekerja serabutan sebagai buruh bangunan tak cukup untuk menghidupi keluarga Bahlil, kondisi ini memaksa sang ibu untuk turut bekerja sebagai Asisten rumah tangga.
Namun tetap saja kebutuhan ekonomi keluarga ini tak tercukupi, maklum saja keluarga kecil ini hidup di Kota Fakfak Papua yang segala sesuatunya serba mahal. Keluarga Bahlil pindah dari Banda Neira ke Fakfak saat Bahlil baru lulus Sekolah Dasar.
“Saya memang dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana.Ibu saya hanya pembantu rumah tangga dan ayah saya itu hanya buruh bangunan,” kata Bahlil dilansir Olenka.id Kamis (24/10/2024).
Tak mau pasrah pada kondisi yang serba sulit, sang ibu mencoba menjajal bisnis kecil-kecilan di tengah kesibukannya sebagai ART, lumayan pendapatannya bisa menambah uang belanja supaya dapur tetap ngebul.
Ia membuat makanan ringan serta berbagai kudapan, dimana berbagai jenis jajan itu dibawa Bahlil untuk dijual ke teman-teman sekolahnya, itu mulai berlangsung ketika Bahlil masuk ke jenjang SMP.
“Ibu saya kalau setelah Sholat subuh selesai, itu bikin kue dan saya yang jajanin ke teman-teman sekolah saya,” kenang Bahlil.
Namun bisnis kecil-kecilan yang digagas sang Ibu tak bertahan lama, Bahlil yang sudah beranjak remaja memilih jalan lain untuk menolong ibu bapaknya.
Bahlil memilih menjadi kondektur angkutan kota (angkot), ini adalah fase baru dalam hidup Bahlil, bocah usia belasan tahun itu mulai mencicipi kerasnya kehidupan terminal.
Tahap pertama sukses ia lewati, setelah beberapa bulan menjadi kondektur Bahlil naik kelas menjadi sopir angkot, tetapi statusnya bukan sopir tetap, ia hanya sopir tembak atau sopir freelance. Status sopir tetap baru ia dapati saat masuk SMA.
“SMP saya kondektur angkot, jadi hidup di terminal. Jadi saya udah tau betul hidupnya keras di terminal itu sejak SMP kelas 1. Dan pangkat saya di terminal pun naik, jadi dari kondektur baru jadi sopir,” ujarnya.
Baca Juga: Jokowi Pamitan ke Masyarakat Pontianak, Erick dan Bahlil Kompak Bersedih
“Ada pangkatnya, jadi hidup berproses. Jadi waktu SMA, saya sopir angkot. Ya kalau di fakfak itu dibilang taksi, malah taksi itu mobil L200 itu yang muat 11 orang itu. Jadi beda taksi versi Jakarta dan versi di Papua,” tambahnya.
Diburu Polisi Sampai Putus Sekolah
Kehidupan terminal yang penuh dinamika secara tak langsung membentuk watak Bahlil menjadi orang yang sangat keras dan cenderung bandel, celakanya cara-cara seperti ini ia bawa sampai ke dalam lingkungan sekolah.
Apabila difashback, perjalanan Bahlil menempuh dunia pendidikan sebetulnya tak begitu mulus. Saat duduk di SMA ia pernah diburu polisi karena terlibat kasus kekerasan.
Bahlil yang berlatar belakang orang terminal bikin anak Kepala Sekolah babak belur. Tak hanya itu sepeda motor milik kepala sekolah juga turut ia rusak lalu dibuang ke dalam got.
“Waktu itu ada terjadi perkelahian di sekolah, ini tidak perlu untuk ikut cara ini. Ya saya pukul anaknya kepala sekolah. Karena anak kepala, dan kita dikejar sama polisi,” ucapnya.
Bahlil yang baru pertama kali dalam hidup berurusan dengan polisi langsung kalang kabut, ketimbang menyerahkan diri untuk dibina di kantor Polisi, Bahlil memilih kabur, ia meninggalkan terminal untuk waktu yang lama. Bahlil minggat untuk mencari tempat perlindungan.
Peristiwa itu membuat kelanjutan pendidikan Bahlil terbengkalai, ia memilih putus sekolah dan kembali ke terminal saat merasa sudah aman. Bahlil kemudian mengambil ujian paket C untuk mendapatkan ijazah SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi.
“jujur saja saya sekolah SMA-nya nggak tamat, saya paket C,” tutupnya.