Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyampaikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, sebagai bagian dari tur studium generale yang diadakan di 11 universitas di seluruh Indonesia pada Rabu (04/09/2024). Kegiatan ini merupakan salah satu upaya dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam rangka membahas isu-isu strategis terkait Pemajuan Kebudayaan, sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017.

Dalam kuliahnya, Hilmar Farid menekankan pentingnya pemanfaatan kekayaan biokultural yang dimiliki oleh Aceh, seperti ekosistem Leuser, Ulu Masen, dan mangrove yang erat kaitannya dengan kebudayaan lokal.

"Pengetahuan tentang alam yang bersumber dari interaksi masyarakat dengan ekosistem ini adalah bagian inti dari kebudayaan," ujar Hilmar.

Ia juga menambahkan bahwa pengetahuan lokal sering kali menjadi dasar dari pengobatan modern, seperti aspirin dan kina. "Potensi biokultural Indonesia sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal," tegasnya kepada Olenka pada Jumat (06/09/2024).

Lanjutnya, Aceh memiliki kekayaan biokultural yang potensial untuk bidang pengobatan, riset terkait tanaman langka di daerah tersebut masih sangat minim. "Kekayaan biokultural Aceh bisa menjadi kunci dalam pengembangan wellness dan gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal," terangnya.

Baca Juga: Abbott dan Kemendikbudristek Bersinergi: Berdayakan Orang Tua dan Pendidikan untuk Tangani Malnutrisi

Di tengah perkembangan global, Hilmar menekankan kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga ketahanan budaya agar tetap relevan, kuat, dan tidak tergerus oleh budaya asing.

Salah satu isu mendesak yang disampaikan oleh Hilmar adalah kurangnya program pendidikan tinggi di Aceh di bidang Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Film dan Televisi, serta Tata Kelola Seni. Hilmar menekankan bahwa pendidikan dalam bidang kebudayaan ini tidak hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga landasan penting untuk memanfaatkan potensi biokultural di masa depan.

Tidak hanya itu, Hilmar juga menyoroti perlunya kolaborasi transdisipliner antara berbagai pihak di Aceh, seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat, Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan, dalam merumuskan kebijakan kebudayaan yang komprehensif. Selain itu, ia mengajak masyarakat Aceh untuk lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya.

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Marwan, dalam sambutannya menyatakan bahwa sinergi antara perguruan tinggi dan pemerintah merupakan kunci dalam Pemajuan Kebudayaan.

Baca Juga: Seniman Minta Prabowo-Gibran Hidupkan Kembali Kementerian Kebudayaan

"Universitas Syiah Kuala terus berupaya untuk tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan riset tetapi juga pusat kebudayaan yang berkontribusi pada pelestarian dan pembangunan budaya," ujar Prof. Marwan.

Ia juga berharap generasi muda memiliki komitmen untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan. Untuk diketahui, acara kuliah umum ini dihadiri oleh 1000 peserta dari berbagai kalangan, termasuk birokrat, akademisi, mahasiswa, budayawan, dan seniman. Kehadiran mereka merupakan bagian dari Ekosistem Kebudayaan yang diharapkan dapat mempercepat akselerasi gerakan Pemajuan Kebudayaan Indonesia.

Selain kuliah umum, agenda lain yang diselenggarakan adalah dialog bersama komunitas budaya Aceh melalui acara Meuramin Peumulia Jamee. Dialog ini bertujuan mendorong lahirnya program-program strategis yang dapat mendukung kemandirian pelaku budaya di Aceh.