Lembaga riset Transisi Bersih mengeklaim bahwa dekarbonisasi Aluminium menjadi salah satu solusi jitu menyelamatkan Indonesia dari ancaman Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan penurunan ekspor.
Hal ini tertuang dalam laporan terbaru Transisi Bersih yang dirilis Rabu (23/7/2025). Dalam laporan berjudul ‘Strategi Dekarbonisasi Hilirisasi Aluminium’ itu disebutkan sektor aluminium Indonesia bersiap mengambil langkah strategis.
Direktur Transisi Bersih, Abdurrahman Arum mengatakan, saat ini posisi Indonesia masih belum dominan dalam rantai nilai global. Kontribusi Indonesia kata dia hanya 0,92% produksi aluminium dunia, dan 0,38% produksi aluminium primer global.
Baca Juga: Kerajaan Bisnis Sinar Mas Group, dari Properti hingga Sawit
Hal itu berbanding terbalik dengan total cadangan bauksit RI yang mencapai 2,8 miliar ton atau 10% dari cadangan global. Sementara, dari sisi produksi, dengan 32 juta ton bijih bauksit pada tahun 2024, Indonesia masuk lima besar produsen bauksit dunia.
“Indonesia belum dominan, tetapi tetap strategis dan sangat rentan jika tidak beradaptasi dengan standar global baru,” kata Abdurrahman
Butuh Strategi Tepat
Uni Eropa bakal menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026, dan aluminium termasuk dalam sektor prioritas. Negara pengimpor seperti Jerman dan Prancis akan mengenakan tarif karbon pada produk dengan jejak emisi tinggi, dan akan jadi pukulan bagi produsen yang masih menggunakan energi kotor seperti batu bara.
Menurut Abdurrahman Arum, Indonesia perlu menerapkan strategi dikarbonisasi yang tepat guna bisa beradaptasi dengan dengan tren pasar aluminium global. Dia menyebut strategi yang salah justru mengerek ongkos dan mengurangi daya saing industri aluminium.
“Sementara, jika kita tidak melakukan dikarbonisasi, maka kita akan ketinggalan. Sebaliknya, jika dilakukan dengan cermat, justru bisa membuka peluang masuk ke pasar premium dunia dan memperkuat hilirisasi dalam negeri,” ujarnya.
Dengan menggunakan kerangka analisis Dominasi dan Kekakuan Pasar (DKP), laporan Transisi Bersih menemukan beberapa poin penting yang mesti ditindaklanjuti para pemangku kepentingan, salah satu poin penting temuan lembaga riset ini adalah : Indonesia tidak mendominasi pasar aluminium, sehingga tidak punya kekuatan untuk mengatur harga global.
“Namun, permintaan aluminium global sangat tidak elastis terhadap harga (elastisitas hanya -0,25 hingga -0,3), sehingga kenaikan biaya karena dekarbonisasi tidak serta-merta menurunkan permintaan,” beber Abdurrahman Arum.
Atas temuan tersebut Transisi Bersih merekomendasikan beberapa strategi yang bisa diadopsi para pemangku kepentingan, salah satu strategi yang dicetus ialah konservatif moderat yakni mengikuti standar negara dominan seperti China sambil tetap naikkan standar secara bertahap untuk mengakses pasar premium seperti Uni Eropa.
Menurut data Wood Mackenzie yang dikutip dalam laporan, biaya produksi aluminium primer di Indonesia terutama Inalum termasuk dalam kuadran 1 cost curve global, setara dengan pemain utama dunia. Ini memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan beberapa langkah penting seperti Menghentikan tax holiday yang selama ini justru menggerus penerimaan negara dan menimbulkan tuduhan dumping.
Baca Juga: Dukung Transisi Energi Nasional, Pertamina Drilling Perluas Layanan Pengeboran Terintegrasi
Kemudian melarang pembangunan PLTU captive berbahan bakar batu bara untuk smelter aluminium baru, mengikuti kebijakan China dan menaikkan standar ESG secara bertahap, termasuk kesejahteraan tenaga kerja dan transisi energi.
Laporan juga menekankan pentingnya fokus pada teknologi yang sudah terbukti secara teknis dan komersial, seperti: Pemanfaatan energi terbarukan dari PLTA, PLTS, atau dari grid (seperti model EGA di UEA),Inert anode untuk menggantikan anoda karbon, yang mampu mengurangi emisi hingga 15% dan efisiensi energi hingga 30%.
Kemudian penggunaan aluminium daur ulang, yang hanya membutuhkan 5% energi dibanding aluminium primer, dan optimalisasi digital dan predictive maintenance, yang menurunkan downtime hingga 30% dan biaya pemeliharaan 20%.
Butuh Green Value
Pemerintah Indonesia telah menghentikan ekspor bauksit sejak 2023, mendorong pembangunan fasilitas refining dan smelting di dalam negeri. Namun, hilirisasi semata tidak cukup jika produksinya masih bergantung pada batu bara.
“Saat ini kita sedang menambah nilai dari sisi industri. Tapi pasar global juga menuntut nilai dari sisi lingkungan. Tanpa ‘green value’, produk Indonesia akan kesulitan masuk pasar premium,” jelas Abdurrahman Arum.
Di tempat yang sama, analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Katherine Hasan mengatakan pihaknya mengapresiasi dan menerima dengan baik laporan Transisi Bersih.
Dia menyebut laporan Transisi Bersih ini krusial karena memberikan strategi realistis: bagaimana Indonesia dapat meningkatkan daya saing di pasar global dengan menjadikan komitmen iklim sebagai prioritas utama
“Selama ini hilirisasi sering dibahas dalam konteks nilai tambah ekonomi, namun sayangnya diskusi nasional kurang memperhatikan dinamika perdagangan global. Padahal, beban emisi karbon kini semakin nyata diintegrasikan sebagai disinsentif bagi komoditas berjejak karbon tinggi,” ujarnya.
"Kami berharap perencanaan industri nasional akan sepenuhnya mengintegrasikan prinsip rendah karbon, yang akan sangat menentukan prospek masa depan sektor industri Indonesia,” tambahnya memungkasi.